ICT and Internet Business is an Independent Blog Focusing on ICT and Internet Business, eBusiness, Digital Media, Online Advertising, Internet Marketing, Mobile and Wireless, etc.

Tantangan Pimpinan Abad 21

  • Posted: Tuesday, December 06, 2005
  • |
  • Author: pradhana

Kemajuan Teknologi Informasi (TI) telah mendorong berbagai perubahan mendasar. Para pemimpin abad 21 ditantang untuk menghadapi era baru ini, yang disebut era informasi. Apa saja yang perlu diperhatikan?


Abad 21 dipandang sebagai abad informasi. Dikembangkannya teknologi informasi, komunikasi dan telekomunikasi, serta Internet pada abad 20 yang lalu, telah mendorong terjadinya berbagai perubahan mendasar. Tidak hanya dalam cara berkomunikasi, melainkan juga cara berbisnis. Hal itu sebagai akibat munculnya berbagai moda komunikasi dan informasi (komputer desktop, laptop, palmtop), termasuk berkembangnya perangkat komunikasi bergerak tanpa kabel (wireless mobile communications), seperti telepon seluler (ponsel), PDA (personal digital assistant) dan lain sebagainya. Bahkan, munculnya berbagai bidang bisnis yang sama sekali baru. Paradigma baru, akibat pesatnya penerapan TI di banyak sektor kehidupan manusia ini, sekaligus menjadi tantangan baru para pemimpin abad 21.

REVOLUSI TEKNOLOGI
Disadari atau tidak, kini hampir setiap perusahaan dan di hampir setiap meja para manajer, komputer dan berbagai perangkat komunikasi lainnya, sangat mudah dijumpai. Perangkat tersebut bagaikan sudah menjadi keharusan dalam menghadapi era informasi dan tantangan lingkungan bisnis yang sarat dengan informasi.

Dalam laporan penelitiannya “New Work Habits for a Radically Changing World” (Pritchett & Associates, 1998), mengungkapkan bahwa sejak 1983 tak kurang dari 25 juta komputer digunakan oleh pekerja Amerika. Selain itu, pelanggan ponsel meningkat dari nol pada 1983 menjadi 16 juta akhir 1993. Tahun 1993, lebih dari 19 juta orang telah menggunakan penyeranta (pagers) dan 12 juta pesan telah dikirim.

Di Indonesia, saat ini lebih dari 8 juta orang menggunakan ponsel dan lebih dari 7 juta pesan SMS (short message service) per hari diterima atau dikirim oleh para pelanggan ponsel. Lebih dari 2 juta orang telah menggunakan Internet, baik di rumah maupun di kantor. Belum lagi, banyak komunikasi data dan informasi terjadi di lingkungan pekerjaan, baik di Indonesia maupun mancanegara.

IMPLIKASI INFORMASI
Pritchett (Pritchett & Associates) memperkirakan bahwa informasi yang dihasilkan dalam 30 tahun ini jauh lebih banyak dibandingkan kurun 5,000 tahun sebelumnya. Begitu juga, penyediaan informasi meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun. Karenanya, menurut Pritchett, keberhasilan seorang manajer dan pimpinan di masa datang tidak ditentukan oleh “apa yang mereka ketahui, melainkan seberapa cepat mereka dapat belajar”.

Karakteristik mereka ditandai tidak oleh bagaimana mereka bisa mengakses informasi, melainkan bagaimana mereka mengakses informasi yang paling sesuai dan memisahkannya dari segunung informasi lainnya yang tidak relevan. Keberhasilan mereka tidak dikarenakan memiliki ketrampilan dan perangkat tradisional, tetapi fleksibilitas dan adaptabilitas yang tinggi dalam berhubungan dengan teknologi dan manusia, serta kemampuan bertahan terhubung dengan lainnya dalam berbagai perubahan dunia.

Jika diperhatikan sungguh-sungguh, perbedaan yang kita rasakan antara 1990 dan 2000 mungkin tidak seekstrim perbedaan antara 2000 dan 2010, saat kita mengalami suatu dunia yang tidak hanya menginginkan pemikiran-ulang mengenai kompetensi manajemen, tetapi lebih dari itu, redefinisi secara mendasar kontrak sosial antara majikan dan pekerja, mitra dan mitra kerja, serta pekerja dengan pekerjaan itu sendiri.

TANTANGAN YANG DIHADAPI
Dalam menghadapi dunia yang berubah, juga paradigmanya, sebagaimana diungkapkan Mark David Nevins, Direktur pelatihan dan pengembangan Booz-Allen & Hamilton, tantangan para pemimpin masa depan akan tertuju pada tiga aspek: tekanan pasar, SDM dan kompetensi kepemimpinan.

Tekanan Pasar
Dunia bisnis dan organisasi yang mendukungnya, kini, berbeda. Banyak yang telah berubah dan meningkat (enhanced) akibat penerapan TI secara luas. Tak heran kalau pasar semakin memberi tekanan perubahan terhadap organisasi, bahkan hingga ke tingkat ekonomi makro. Akibatnya, tuntutan terhadap organisasi juga semakin besar. Tekanan pasar ini dapat dilihat sebagai akumulasi pengaruh perilaku dan keinginan dari mereka yang ada di pasar, dan tidak hanya sekadar membutuhkan penyediaan barang atau layanan. Hal ini dapat dilihat dari munculnya berbagai langkah merjer dan akuisisi, serta semakin meluasnya jejak perusahaan-perusahaan mancanegara di seluruh dunia.

Menjadi global, atau lebih tepatnya menawarkan produk dan jasa di sejumlah negara dengan aneka ragam budaya, akan semakin meningkatkan luasnya pasar yang harus dilayani. Sebaliknya, kemajuan teknologi telah memungkinkan dihasilkannya produk dan jasa yang semakin efisien, sehingga peningkatan kapasitas produk dan jasa tidak, pada saat yang sama, meningkatkan daya tahan organisasi. Dari sekitar 100 perusahaan terbesar Amerika di awal abad ke-20, hanya sekitar 16 saja yang kini bertahan.

Selain itu, perusahaan Fortune 500 tahun 1970, hanya sepertiganya yang masih bertahan di awal 1980-an. Pada tahun 1980-an itu, 230 perusahaan (46%) sama sekali hilang dari daftar Fortune 500. Jelas, bahwa besarnya organisasi dan reputasi tidak menjamin kelangsungan keberhasilan atau kemampuan bertahan.

Di sisi lain, bisnis-bisnis yang berhasil adalah yang tidak mengabaikan kekuatan sejarah dan kekhususannya, serta tidak mengabaikan pembelajaran masa lalu dan kemampuan berpikir metafor – yang “lama” secara cepat bisa menjadi “baru”, bahkan yang “baru” hari ini tidak sama dengan yang “baru” kemarin.

Masalah SDM
Dalam pandangan seorang manajer, masalah SDM hanya terkait dengan hubungan antara karyawan dengan perusahaan. Masalah ini biasanya berada di bawah departemen SDM, jauh dari inti bisnis. Namun, sekarang, masalah SDM telah menjadi sesuatu yang sangat penting.

Di awal abad 21 ini, kurang dari setengah tenaga kerja akan tetap mempertahankan bekerja penuh waktu. Tetapi, mereka yang bekerja sendiri, sementara dan paruh waktu terus meningkat. Di Amerika, 45 juta pekerja independen – bekerja sendiri, sementara, paruh waktu dan konsultan, tumbuh sebesar 57 persen dalam kurun 15 tahun. Yang tidak begitu jelas bagi para manajer masa depan adalah bahwa para pekerja masa depan memiliki harapan, kebutuhan dan organisasi yang berbeda. Begitu juga, pola hubungan antara majikan dan pekerjanya.

Dengan meningkatnya kompleksitas dan globalisasi, organisasi semakin membutuhkan ketrampilan dan kemampuan dari para pemimpin mereka, yang mulai difahami. Yang paling penting dari perkembangan ini adalah kemampuan menyeimbangkan kebutuhan pekerja (global) dan kebutuhan pelanggan (global dan local). Tantangan penyeimbangan ini yang dirasakan semakin berat, karena harus dilakukan secara efisien dan menguntungkan kedua belah pihak.

Dengan semakin bervariasinya pekerja yang dihadapi, para pemimpin masa depan tumbuh dalam suatu dunia dimana perbedaan merupakan suatu kenyataan yang produktif, menarik dan menyenangkan, sehingga taksonomi tradisional, struktur dan batasan-batasan (termasuk ras, etnik dan lainnya) semakin kurang diperhatikan. Karenanya, mereka yang bisa menerima perbedaan individual di tempat kerja dan melihatnya semakin sumber enerji kreativitas dan produktivitas akan memiliki akses mendapatkan pekerja yang terbaik dan berbakat.

Ke depan kita mungkin tak lagi bisa berharap pekerja, juga pimpinannya (manajer, CEO dan lainnya) yang memiliki loyalitas jangka panjang. Mereka akan cenderung memilih berbagai tawaran baru yang lebih sesuai dan berimbang dengan keinginan mereka. Karenanya, nilai kontrak sosial antara majikan dengan pekerja sama pentingnya dengan nilai pelayanan ke pasar dan pelanggan mereka.

Kompetensi Kepemimpinan
Dalam aspek kepemimpinan, strategi yang fokus dan visi yang jelas ditambah kemampuan praktis kapan bersikap fleksibel dan menerima (adaptable) menjadi sangat penting dalam bertahan. Kemampuan mengelola berbagai pandangan secara bersamaan akan menjadi pembeda para manajer terbaik: mempertahankan sasaran tingkat tinggi sambil mengelola dan menjejakkan keberhasilan harian; memahami secara seimbang antara titik pandangan dengan kebutuhan pelanggan dan organisasi; mampu berempati dengan semua yang berkepentingan (stakeholders) dalam upaya mengembangkan SDM, meningkatkan perubahan-perubahan produktif dan, pada saat yang sama, mempertahankan “nyawa perusahaan”.

Kareakteristik utama para pemimpin baru yang mampu bertahan dalam era ini adalah mereka yang fokus pada aspek-aspek tersembunyi (intangible) dalam suatu organisasi. Abad informasi membutuhkan pemimpin baru, yakni mereka yang mampu menunjukkan fleksibilitas dan empati sambil mempertahankan nilai-nilai utama organisasi dan mencari jalan menghindari rintangan yang tak dapat diprediksi sebelumnya. Mereka harus memiliki inspirasi, kemampuan teknologis, tetapi tidak kehilangan kemampuannya dalam hal-hal yang rinci, jiwa kewiraswastaan, benar-benar melayani dan inklusif. Bukan sebaliknya, ketergantungan atau sangat berkuasa (autocratic).

Kunci kompetensi kepemimpinan lainnya adalah kemampuan mengembangkan dan mengartikulasikan proposisi nilai – mempertahankannya dalam suatu pasar yang dinamis dan memberdayakan lainnya agar berkemampuan; investasi dalam suatu model bisnis yang mengarahkan “employee decision-making” di semua tingkatan; komit terhadap budaya yang menghargai pengajaran dan pembelajaran sambil menyelaraskan tujuan individu dengan tujuan perusahaan, dan memahami apa yang benar-benar membangun dan mengelola sistem transformasi pengetahuan.

Tharsikin Insa, Direktur Center for Internet and e-Commerce Studies (CIECOMS) Indonesia

Komitmen

  • Posted: Monday, December 05, 2005
  • |
  • Author: pradhana

Kalau saja kejujuran tak semahal seperti sekarang ini, tuntutan untuk terbuka, transparan tak akan sekuat yang kita alami sekarang ini. Bukan berarti tuntutan itu menjadi sesuatu yang salah, melainkan memunculkan pertanyaan besar: karena sesuatu yang semestinya ada – kejujuran dan keterbukaan, tetapi justru hal itu yang kini harus didorong untuk ada, seolah telah menjadi sesuatu yang sangat istimewa yang harus atau “dipaksakan” untuk dilakukan.

Sayangnya, lingkungan kehidupan kita, baik pribadi maupun bisnis, hampir tak menyisakan ruang yang cukup untuk memunculkan kejujuran dan keterbukaan. Demi strategi bisnis misalnya, banyak perusahaan saling “menyembunyikan” sesuatu yang belum tentu memang harus disembunyikan hanya karena dianggap akan merugikan perusahaan dalam persaingan. Persepsi ini kemudian berkembang, dan bahkan lebih parah lagi, menjurus pada “boleh saja menyembunyikan informasi atau bahkan berbohong pada konsumen”, hanya untuk kepentingan sesaat seolah-olah itulah jalan untuk memenangkan persaingan dalam merebut hati konsumen.

Di sisi lain, bertamengkan demi strategi perusahaan dalam bersaing, tak jarang perusahaan melakukan tindakan tak terpuji melalui kolaborasi, konspirasi, yang pada ujungnya akan sangat merugikan konsumen, dan juga masyarakat. Kasus hancurnya ENRON – salah satu perusahaan energi, komoditi dan jasa terkemuka dunia dengan pendapatan mencapai US$101 miliar pada tahun 2000, yang berkedudukan di Amerika, misalnya – tak lepas dari adanya kolusi dan konspirasi, yang kemudian kehancurannya justru sangat merugikan konsumen, mitra bisnis dan dunia bisnis pada umumnya.

Tersembunyi atau disembunyikannya berbagai dan dan informasi penting yang menyangkut “kondisi” perusahaan sebenarnya kini banyak terjadi. Perusahaan-perusahaan saling berlomba untuk menunjukkan bahwa perusahaan berkondisi baik, dikelola dengan cara-cara yang efisien, yang kemudian muncul dalam selembar financial statement, yang boleh jadi kenyataan sebenarnya jauh tersembunyi di balik angka-angka yang kelihatan bagus itu.

Seringkali, ketika perusahaan goyah atau bahkan kolaps, baru kemudian publik menyadari bahwa data dan informasi yang selama ini ditunjukkan ternyata tidak benar alisa direkayasa sedemikian rupa dengan berbagai dalih. Pertanyaan mengapa kejujuran dan keterbukaan sedemikian mahalnya, sehingga masyarakat tak lagi dirasakan sebagian bagian penting dari perlunya menyampaikan data dan informasi yang benar.

Sekarang ini, meski tidak menjamin seratus persen keberhasilannya, ketika kejujuran dan keterbukaan yang dikemas dalam istilah “Good Corporate Governance” atau menurut istilah Jos Luhukay “Tata-pamong Perusahaan yang Baik” akan diwujudkan dengan memanfaatkan peran teknologi informasi (TI), hambatannya pun tak kecil. Bukan karena belum tersedianya teknologi dan perangkat yang cukup, melainkan sampai sejauh mana perusahaan, dalam hal ini petinggi-petingginya, memiliki komitmen yang cukup besar untuk mewujudkannya.

Kalau hal itu hanya dilakukan sekedar untuk ikut-ikutan dalam arus semakin meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap hal itu, maka secara nyata gembar-gembor mengakkan “Tata-pamong yang baik” hanya sebagai hiburan belaka. Tapi, benarkah hal itu hanya terkait dengan kepentingan konsumen atau mitra bisnis belaka? Tak adakah manfaat yang justru lebih besar bagi perusahaan?

Saat ini, dengan berkembangnya TI, meningkatnya penggunaan sistem komunikasi dan Internet, sebenarnya semakin besar kemungkinan bagi perusahaan untuk menunjukkan berbagai data dan informasi “yang layak diketahui masyarakat atau konsumen”. Selain itu, transparansi dengan mitra bisnis pun dapat dilakukan dengan baik, sehingga akan mengefektifkan berbagai kegiatan yang terkait dengan bisnisnya, tanpa terbuka secara bebas ke mereka yang tidak memerlukannya.

Sebaliknya, akibat berbagai transparansi yang terjadi, konsumen pun mestinya merupakan bagian penting perkembangan bisnis perusahaan yang membutuhkan data dan informasi yang benar dan akurat itu. Terlebih-lebih lagi, jika perusahaan sudah menjadi perusahaan publik.

Namun, di sisi lain, kita juga perlu menyadari, bahwa TI hanyalah sebagai suatu sarana, yang apabila digunakan secara baik dan tepat, memang ia akan memberi banyak manfaat. Karenanya, komitmen petinggi perusahaan menjadi sangat penting, sehingga keinginan akan sejalan dengan sarana yang tersedia, dan nantinya akan mampu memberikan sesuatu yang optimal, yang juga akan sangat menguntungkan bagi perusahaan. Itu karena meningkatnya kepercayaan dan loyalitas pelanggan, mitra kerja dan juga investor.

Belajar Dari AFI

  • Posted: Sunday, December 04, 2005
  • |
  • Author: pradhana

Tampilnya Veri Affandi, pemuda sederhana kelahiran Pangkalan Brandan, 7 Januari 1983, sebagai pemenang pertama kompetisi ”Menuju Bintang” AFI (Akademi Fantasi Indosiar), awal Maret lalu, masih menyisakan demam AFI hingga saat ini. Sambutan luar biasa masyarakat, terutama kalangan muda, di desa maupun di kota, sepertinya telah menciptakan ikon baru.

Veri, yang dalam bilangan bulan sebelumnya hanya seorang pemuda sederhana yang tak banyak dikenal, tiba-tiba tampil menjadi sosok yang dielu-elukan banyak orang. Pengakuan yang jujur Veri mengenai kehidupan keluarganya yang sangat bersahaja, terbukti telah memunculkan simpati yang luar biasa. Berbekal kemampuan menyanyinya, penampilan yang sederhana dan sikap santunnya, melalui jutaan SMS dan telepon bebas pulsa, akhirnya Veri didaulat sebagai pemenang pertama kompetisi AFI.

Terlepas dari siapa Veri, apakah kemampuannya setara dengan penghargaan yang diterimanya, namun Indosiar telah membuktikan bahwa program reality show yang melibatkan partisipasi masyarakat luas, menjadi suatu “kekuatan” tersediri yang luar biasa. Animo dan antusias masyarakat terbukti telah memunculkan demam AFI yang berkepanjangan. Ketika AFI 2 dimulai, demam AFI 1 pun masih belum surut.

Penggelaran konser bintang-bintang AFI di beberapa kota besar, sebagai langkah awal debut mereka, yang sudah dimulai akhir Maret lalu di Bandung, masih menunjukkan antusiasme itu. Padahal, selentingan kabar menyatakan bahwa program AFI, yang mendapat rating tertinggi dibandingkan acar-acara lainnya di semua stasiun televisi itu, awalnya memang tak dijagokan sebagai program unggulan. Namun, faktanya sangat berbeda.

Satu hal yang menarik, melalui AFI, Indosiar berhasil membangun optimisme masyarakat, khususnya para pemuda. Kemiskinan keluarga Veri, pada saat yang sama, sepertinya tak dapat dijadikan alasan untuk tidak meraih prestasi, meski diakui selain banyak yang optimis, tak kurang banyaknya yang pesimis. Namun, apapun alasannya, Veri telah menjadi bukti. Tantangan ke depan, jelas akan banyak berada di pundak Veri, apakah ia mampu membangun prestasi di dunia panggung yang nyata.

Di sisi lain, masyarakat seperti dibukakan pintu optimisme lebar-lebar untuk meraih prestasi, khususnya dalam dunia tarik suara dan entertainment. Sesuatu yang semakin sulit difahami masyarakat belakang ini. Di antara begitu banyak peluang, namun selalu memunculkan “persaingan yang tak sehat”, antara lain melalui permainan uang.

Uang seolah-olah telah menjadi “penentu” dan “pengambil keputusan” bagi banyak orang untuk meraih peluang. Sebaliknya, kemampuan seperti telah terpinggirkan. Asa orang-orang miskin yang memiliki kemampuan dan ketrampilan, hampir-hampir tak mampu ditampilkan lagi, karena terbentur uang (dan koneksi). Keberhasilan Veri, yang melambungkan popularitas yang luas dalam bilangan bulan, menyisakan harapan yang luar biasa.

Indosiar, memalui AFI, tak dapat disangkal telah mempertontonkan ”ada”-nya peluang, yang mestinya bisa juga menularkannya ke bidang-bidang lainnya.

Di dunia TI misalnya. Saya percaya masih banyak pemuda-pemuda kita yang sesungguhnya secara kemampuan dan ketrampilan dapat di”angkat” dan di”bangun” menuju sukses, sebagaimana AFI membangun Veri dan kawan-kawannya. Sayangnya, kebersamaan kita dengan visi untuk membangun anak-anak bangsa ini, masih lebih nyaring diteriak-teriakkan ketika kampanye Pemilu, namun sulit dicari pijakannya di dunia nyata.

“Membangun” dalam “orasi” Pemilu dan juga kebijakan pengelolaan negara hampir tak punya korelasi dengan ”membangun” yang sesungguhnya. Berbagai unsur, lembaga, institusi atau kelompok masyarakat, apakah pendidikan, dunia usaha, maupun masyarakat lainnya, sepertinya tak punya lagi “kebersamaan”, “saling tolong-menolong”, atau kata kerennya kolaborasi menuju keberhasilan bersama.

Bangsa ini, hampir tak lagi menyisakan ruang dan peluang yang fair, katakanlah seperti AFI, yang memungkinkan semua orang, baik kaya maupun miskin dapat meraih sukses berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. Saat ini, “lahan” itu sepertinya sangat-sangat sedikit, dan AFI mungkin hanya sebuah noktah kecil. Tapi, itupun terbukti mampu melahirkan optimisme yang luar biasa. Bagaimana pula kalau ”lahan” itu tersedia lebih luas?

Enterprise Portal

  • Posted: Saturday, December 03, 2005
  • |
  • Author: pradhana

Gregory Johnson, partner PricewaterhouseCoopers (PwC), San Francisco, AS, yang menangani masalah human capital solutions group, mengamati bahwa banyak perusahaan besar dunia tengah mengalami masalah serius. Mereka memiliki begitu banyak inisiatif portal, tetapi tidak terintegrasikan dengan baik.

Penyebabnya, masing-masing departemen, masing-masing line of business menginginkan satu portal tersendiri. Mereka merasa representasinya harus diwujudkan dalam bentuk pembangunan portal tersendiri, sehingga muncullah beragam portal.

Tak jarang informasi yang tersedia di masing-masing portal tidak menunjukkan keselarasan alias berbeda-beda, meski mereka berada dalam satu grup perusahaan yang sama. Sehingga, keberadaannya tidak mencerminkan portal enterprise yang terkolaborasi dengan baik. Belum lagi, sebagian besar mereka membangunnya di atas arsitektur yang berbeda. Duplikasi konten pun tak terelakkan.

Akibatnya muncul beragam masalah, yang tak semuanya bersifat teknis, melainkan juga tidak konsistennya informasi dan data yang disajikan, serta progress pencapaian yang telah diraih perusahaan dari waktu ke waktu.

Selain itu, juga semakin menunjukkan wajah perusahaan yang beraneka ragam, yang justru menyulitkan pihak luar, misal konsumen, pemasok dan sebagainya.

Apa yang terjadi dengan Hewlett-Packard (HP), sebelum perusahaan ini merger dengan Compaq, menunjukkan hal itu. Carly Fiorina, CEO HP menggambarkan perusahaannya sebagai "perusahaan dengan seribu suku”.

Mengapa? Karena HP memiliki lebih dari 1000 situs web internal untuk kepentingan pelatihan para karyawannya. Lebih dari 3000 Intranet yang memberikan informasi mengenai sumber daya manusia.

Hal itu, seperti diakui Carla, menyebabkan munculnya berbagai masalah, termasuk program reward yang mahal dan saling bertabrakan. Juga, variasi yang memusingkan dalam proses-proses kunci, seperti penyiapan SDM, dan kepuasan karyawan yang rendah.

Namun, pada Desember 1999, HP mengambil inisiatif membangun Enterprise Portal (EP), yang fokus pada sektor sumber daya manusia. Sistem yang dikembangkannya memungkinkan para manajernya menggunakan password tunggal untuk mengakses data tenaga kerjanya di seluruh dunia.

Juga memungkinkan karyawannya di mana saja dapat menggunakan collaboration tools untuk bekerja bersama-sama dengan basis virtual. Juga, document management tools, yang memungkinkan suatu wilayah memajukan proyeknya sementara orang lain di wilayah lain sedang tidur.

Fasilitas tersebut memungkinkan seorang manajer dapat mengawasi lusinan orang yang bekerja di wilayah yang berbeda-beda. Evaluasi kinerja, mempekerjakan karyawan temporer dan mensupervisi proyek-proyek penting dapat dengan mudah dilakukannya. Semuanya melalui EP.

Dengan EP, selain perusahaan terwakili secara utuh, juga terjadi proses pemusatan informasi, penyelarasan proses bisnis dan sekaligus mampu menghubungkan orang-orang untuk dapat bekerja sama. EP juga mampu meningkatkan efisiensi operasional, mengurangi biaya, dan membangun loyalitas dengan karyawan, pelanggan dan pemasok.

Untuk itu, Nathaniel Palmer, chief analyst di Delphi Group, Boston, AS menegaskan bahwa sebuah portal harus menjadi sesuatu yang hidup. Yang tumbuh dan terus tumbuh, serta mendapatkan banyak pengguna. Fungsionalitasnya terus ditingkatkan hingga menjadi platform bagi kegiatan-kegiatan komputasi yang besar”.

Dengan begitu, akan ada banyak manfaat dan nilai tambah yang bisa diraih perusahaan. Sepatutnya, kita pun belajar dari bagaimana EP memberi arti bagi perusahaan, kita pun sebagai masyarakat, sebagai bangsa secara bersama mampu memberi manfaat dan nilai tambah bagi bangsa dan masyarakat.

Pusat Pembelajaran TI

  • Posted: Friday, December 02, 2005
  • |
  • Author: pradhana

Arus deras perkembangan dan pemanfaatan teknologi informasi (TI), ditambah semakin meluasnya penggunaan Internet sebagai akses ke dunia maya, telah mendorong suatu perubahan yang revolusioner bukan saja dalam cara berkomunikasi, bekerja, menikmati hiburan, melainkan juga berbisnis. Dunia bisnis tak luput dari perubahan itu, bukan saja dalam melakukan kegiatan bisnis, melainkan juga bisnis itu sendiri.

Lebih dari itu, berbagai perubahan terjadi sangat cepat dan semakin luas, yang tentu akan sangat berdampak terhadap bagaimana suatu masyarakat berinteraksi, baik dalam konteks sosial, pendidikan maupun bisnis. Perubahan-perubahan itu, sesungguhnya semakin membuka peluang yang lebih luas bagi setiap anggota masyarakat, tua-muda, di desa maupun di kota, untuk juga turut dalam arus perubahan itu. Perubahan yang akan menentukan masa depan mereka dan kita semua, baik dalam konteks nasional, regional maupun global.

Memang hal itu tak mudah, karena memerlukan upaya dan pemahaman yang cukup mendalam. Bukan saja tuntutannya agar masyarakat mendapatkan akses terhadap informasi, melainkan tatanan kehidupan masyarakat itu, baik sosial, budaya dan bisnis juga memerlukan dukungan agar menjadi lebih baik, lebih transparan dan membuka peluang untuk setiap anggota masyarakat. Dan, TI dapat membantu untuk itu semua dengan tanpa mengabaikan bahwa faktor manusia – perubahan budaya, sikap dan prilaku – merupakan sesuatu yang sangat penting dan strategis.

Karenanya, keterlibatan masyarakat dalam ”proses” pembangunan nasional harus mampu mendorongkan upaya itu, salah satunya melalui akses ke informasi yang didukung TI dan Internet ini. Dewasa ini, keterlibatan masyarakat luas dalam konteks TI ini lebih banyak difasilitasi atau terfasilitasi oleh sejumlah ketersediaan, misalnya di masyarakat kini ada Wartel/Warnet dan beragam pusat-pusat komunitas. Sedang di lembaga pendidikan ada komunitas sekolah/kampus yang didukung fasilitas akses Internet atau pendidikan khusus TI atau komputer dan sistem informasi. Bagi mereka yang bekerja, fasilitas di kantor juga termanfaatkan untuk berbagai keperluan, baik yang terkait dengan bisnis atau pekerjaan, namun tak jarang juga digunakan untuk kepentingan individu.

Sementara itu, pusat-pusat komunitas yang ada di masyarakat juga cukup beragam. Misalnya saja, Balai Informasi Masyarakat (BIM) yang didukung Mastel (Masyarakat Telematika), Jaringan Informasi Elektronik Masyarakat Indonesia (JIEMI) yang didukung LIN (Lembaga Informasi Nasional), Warintek didukung Kementrian Ristek, Multi Purpose Community Information Center didirikan oleh APW Koitel, termasuk Telecenter, Warnet dan lain sebagainya. Semua itu, pada dasarnya, dapat disebut sebagai Sentra Akses Masyarakat (Community Access Point-CAP), yang tumbuh dan berkembang dengan beragam model. Karenanya, jangan heran kalau fasilitas yang tersedia pun berbeda-beda.

Hal itu pula, yang kemudian mendorong Cahyana Ahmadjayadi, Deputi Bidang Jaringan Informasi dan Komunikasi, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), untuk menyusun model-model CAP standar. Hal itu diharapkan akan menjadi acuan bagi model-model CAP yang standar dan representatif di masyarakat. Diharapkan model itu tak sekadar memolakan bentuk fisik dan fasilitas, melainkan juga mestinya menjadi suatu ”model bisnis” dengan dukungan kalkulasi ”revenue stream” yang bisa diperoleh.

Dengan begitu, siapapun yang nantinya akan masuk dalam bisnis pengelolaan bidang itu akan mampu juga menghasilkan revenue yang cukup memadai, bahkan kalau bisa lebih besar, sehingga akan sangat mendukung kelangsungannya di masa datang. Karena, pastilah pemerintah tak mampu membiayai itu semua, sehingga masyarakat diberi dukungan untuk membangunnya, sementara dukungan lain yang lebih strategis mestinya datang dari pemerintah, baik pusat maupun daerah.

Sehingga yang sungguh-sungguh diperlukan adalah adanya kepastian aturan main dan dukungan pembiayaan, yang bisa diperoleh melalui kredit lunak (UKM) dari bank, dan dukungan BUMN serta lembaga-lembaga keuangan lainnya. Pemerintah diharapkan memiliki kesungguhan untuk mendukung perkembangan CAP ini, tak hanya sekadar kebijakan, melainkan langkah-langkah konkrit di masyarakat. Bukan sebagai proyek, melainkan sebagai suatu komitmen pemerintah terhadap upaya peningkatan pembelajaran TI masyarakat.

Karenanya, sangat diperlukan kejelasan arah dan tujuan, serta pijakan dasarnya ke depan. Kini bukan saatnya lagi untuk terus berbicara, melainkan mari kita bangun negeri dan bangsa ini, yang sudah terlalu lelah untuk terus diperbincangkan dan dipecundangi. Semoga!

Tantangan Manajer TI Masa Depan

  • Posted: Thursday, December 01, 2005
  • |
  • Author: pradhana

Perubahan lingkungan bisnis dan teknologi informasi (TI) semakin memberi tantangan berat bagi kalangan manajer TI. Bagaimana Anda melihatnya dan apa saja tantangan itu?

Sebagai seorang manajer Teknologi Informasi (TI), yang secara pengetahuan didukung oleh pendidikan formal sekolah komputer bergengsi ditambah dengan pengalamannya bertahun-tahun bekerja di perusahaan TI, membuat Kiko tidak berpuas diri. Dia sadar, betapapun lulusan perguruan tinggi dan dengan pengalaman yang cukup banyak, namun masalah yang dihadapinya sehari-hari semakin menyadarkan dirinya bahwa pengetahuan dan ketrampilannya kudu ditambah. Itu kalau dia tidak ingin ketinggalan dibandingkan teman-teman lainnya, bukan saja yang seangkatan, melainkan juga dari angkatan yang lebih baru.

Namun, yang lebih penting lagi, bukan bersaing dengan teman-teman seangkatannya. Kiko sangat menyadari bahwa kemajuan dan perkembangan TI sangat pesat, sehingga perlu kejelian dalam memahami berbagai produk maupun solusi, dari yang baru hingga yang sudah lama, dan bagaimana relevansinya dengan tuntutan pekerjaan yang dihadapi saat ini.

“Kalau kita ikuti terus perkembangan TI saat ini, banyak sekali perkembangan baru dan bahkan lebih canggih. Tapi, saya tidak sembarangan mencoba-coba teknologi yang baru. Harus lebih selektif,” ujarnya saat ditanya bagaimana pandangannya menghadapi kemajuan TI dewasa ini.

Adi, yang juga seorang manajer TI suatu perbankan, juga mengamini apa yang diungkapkan Kiko. “Tidak setiap kemajuan teknologi kami adop untuk diterapkan di sini. Kami harus selektif, karena yang kami tuju adalah bagaimana teknologi yang kami terapkan benar-benar dapat menjawab kebutuhan yang kami hadapi. Jadi tidak semata-mata menerapkan teknologi baru yang lebih canggih saja,” ungkap Adi di kantornya yang sangat asri di bilangan Bintaro.

Hal yang sama juga ditegaskan oleh Uun Widhi Untoro, President Director, IFS Solutions Indonesia. “Dalam menerapkan suatu aplikasi, memang tidak selalu harus bertumpu pada teknologi yang baru dan canggih saja. Yang pertama-tama, kebutuhannya apa, kemudian tujuan penerapannya apa, targetnya apa, baru bagaimana hal itu bisa disolusi,” tegas Uun.

Memang, dalam menerapkan suatu teknologi factor kelangsungan dukungan yang diberikan menjadi pertimbangan sangat penting. Jangan sampai teknologi yang baru diterapkan ternyata sudah jauh tertinggal, sehingga tak nyambung dengan perkembangan dan kemajuan yang baru. Karenanya, dalam berbagai aplikasi, skalabilitas atau kemampuan untuk ditingkatkan di masa datang, juga menjadi pertimbangan penting, sehingga ketika ada kebutuhan baru, secara teknologis hal itu terdukung dengan baik. Begitu juga, jika perkembangan itu harus didukung oleh teknologi yang baru, memperbaruinya juga dimungkinkan.

Namun, satu hal yang sangat penting adalah, sebagaimana disadari baik oleh Kiko maupun Adi, bahwa kemajuan TI sangat pesat, karenanya perlu selektif dalam memilih dan menerapkannya. Sebaliknya, mereka sendiri, sebagai seorang manajer TI, harus benar-benar menyadari bahwa pengetahuan dan ketrampilan yang mereka miliki saat ini harus terus ditingkatkan. Bukan saja karena semakin tingginya persaingan dalam bidang kerja yang mereka geluti, melainkan juga tuntutan pekerjaan mereka sejalan dengan kemajuan TI yang sangat pesat, baik dalam aspek peranti lunak maupun perangkat keras dan solusi integrasi serta kolaborasi.

Berikut ini ada beberapa pertimbangan yang layak menjadi perhatian kalangan manajer TI dalam melihat tantangan profesi mereka di masa datang. Boleh jadi hal ini tidak sepenuhnya tepat, tetapi pandangan ini setidaknya semakin mendorong Anda untuk melakukan introspeksi di tahun 2004 ini untuk kemudian melangkah ke tahun-tahun mendatang dengan visi yang lebih baik.

Bagaimana pun, Anda pasti setuju bahwa meningkatkan kemampuan dan ketrampilan di profesi Anda sebagai seorang manajer TI, bukan saja sangat penting melainkan strategis bagi mempertahankan posisi Anda sekarang ini dan sekaligus membuat Anda menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Memang tak ada yang tahu bagaimana dan apa yang akan terjadi di lingkungan Anda atau dengan Anda sendiri. Namun, kalau Anda menoleh kembali ke 3 atau 5 tahun yang lalu, apa yang sebenarnya telah Anda lakukan, bagaimana Anda melakukannya, bagaimana dan di mana posisi Anda sekarang, mungkin hal-hal berikut ini akan memberi Anda gambaran optimisme dan ke mana arah yang akan Anda tuju. Berikut ini beberapa ketrampilan yang diperkirakan akan menjadi perhatian banyak kalangan manajer TI dan selayaknya Anda kuasai dengan baik.

Terlibat dengan lebih banyak kontraktor dan aplikasi alihdaya (outsource): Dewasa ini, banyak kalangan manajer TI yang telah bekerjasama dengan berbagai kontraktor TI dan mengalihdayakan berbagai aplikasi dan fungsi-fungsi TI-nya. Di masa datang, semua manajer TI akan melakukan hal yang sama. Kalau sekarang ini ada kecenderungan perusahaan-perusahaan untuk melakukan alihdaya fungsi TI, maka 5 atau 10 tahun ke depan hal itu diperkirakan akan semakin meningkat. Jika hal itu tak dapat dilakukan di dalam negeri, maka alihdaya akan lebih banyak dilakukan di luar negeri. Pertimbangannya lebih pada profesionalisme pelayanan dan biaya yang sangat kompetitif. Ini berarti, di masa datang perusahaan-perusahaan akan semakin realistis dalam menangani masalah TI mereka.

Selain melakukan alihdaya sejumlah fungsi TI, maka mereka diperkirakan tidak akan menambah jumlah pekerja TI yang bersifat tetap. Mereka lebih memilih mempekerjakan pekerja TI paruh-waktu atau temporer. Karenanya, kalangan manajer TI masa datang akan terkait dengan berbagai hal, antara lain menangani pekerja TI tetap dan temporer, kerjasama alihdaya, baik di dalam maupun di luar negeri, meningkatkan ketrampilan pekerja TI yang ada, yang semua itu akan membutuhkan kemampuan pengelolaan yang lebih baik.

Karenanya kalangan manajer TI semakin dituntut untuk meningkatkan kemampuannya dalam penanganan proyek TI, yang mungkin selama ini masih dianggap hal yang sulit dilakukan. Atau merasa bahwa kemampuan mengelola, bukan bidang pekerjaan utama. Padahal, tantangan ke depan tak bisa tidak akan terkait dengan pengelolaan berbagai aspek tersebut di atas. Bisa jadi malah lebih banyak hal yang harus dikelola, yang terkait dengan tanggungjawab sebagai manajer TI.

Optimalisasi waktu pengerjaan proyek: Kalau selama ini Anda telah berhasil menangani proyek penerapan ERP misalnya, itu bagus. Pengalaman Anda semakin bertambah. Tetapi, jangan bangga dulu. Nantinya, perusahaan-perusahaan tak lagi bisa mentoleransi penerapan suatu aplikasi yang memakan waktu lebih lama atau bahkan yang tak selesai-selesai. Kalaupun selesai, waktu yang dibutuhkan sangat lama, sehingga tidak lagi efisien dan konpetitif dalam peningkatan daya saing.

Ke depan, diperkirakan penerapan aplikasi akan lebih bersifat kompartemen atau bahkan modul-modul, sehingga dapat diterapkan secara lebih cepat. Bisa jadi, perusahaan tak akan banyak melakukan kustomisasi, meski konsekuensinya mengurangi fleksibilitasnya. Namun, tantangannya menjadi lebih berat, karena aplikasi apapun yang Anda terapkan tuntutan utamanya adalah pakah hal itu akan meningkatkan nilai atau keuntungan kompetitif perusahaan Anda.

Karenanya, kalangan manajaer TI semakin dituntut untuk menerapakan suatu aplikasi yang tepat, dapat dilakukan secara cepat, dan berdampak pada peningkatan daya saing perusahaan. Pengelolaan waktu yang baik akan membuat Anda semakin mampu menangani proyek implementasi TI Anda secara baik, cepat dan berdampak positif bagi perusahaan. Lebih dari dari, manajemen perusahaan tidak akan lebih sabar menunggu implementasi yang Anda lakukan cepat selesai dan segera memberi manfaat bagi kemajuan perusahaan.

Mengelola suatu tim kecil yang supergeneralis: Dengan semakin banyaknya pekerjaan yang ditangani, baik oleh kalangan kontraktor maupun perusahaan pengalihdaya, maka di masadatang Anda akan memiliki lebih banyak karyawan regular. Lebih jauh jauh lagi, staf Anda adalah mereka-mereka yang sangat terlatih dan berketrampilan tinggi dan mereka-mereka yang generalis (flexible generalists).

Karenanya, jika perusahaan Anda membutuhkan staf baru, maka tantangan Anda adalah bagaimana mendapatkan orang-orang yang memiliki banyak pengalaman dalam banyak aspek, yang terkait dengan berbagai platforms dan aplikasi. Dengan pengalaman semacam itu mereka akan lebih leluasa berpindah dari satu aplikasi ke aplikasi lain, dari satu proyek ke proyek lain secara cepat. Juga, dapat dengan mudah memilih teknologi yang dibutuhkan secara lebih baik.

Dan yang lebih menarik, mereka-mereka yang terbaik dalam tim Anda akan berkesempatan membantu Anda dalam melakukan pekerjaan yang berat. Yakni mengelola berbagai macam proyek dengan platform dan aplikasi yang berbeda, tingkat keahlian orang-orang yang sangat variatif, serta sumber-sumber luar yang juga berbeda, serta tantangan menyelaraskan antara sumber di dalam dan yang dari luar perusahaan. Karenanya, meski Anda memiliki tim yang kecil, maka itu harus terdiri dari orang-orang yang benar-benar memiliki kompetensi tinggi – supergeneralis.

Terus-menerus Melakukan Peningkatan Paradigma (paradigm shifts): Kalau sekarang ini ada kecenderungan bahwa kombinasi antara aplikasi open source dan semakin murahnya harga perangkat keras membuat perusahaan-perusahaan TI mengubah pandangan mereka mengenai pengembangan aplikasi dan perawatan (maintenance), tetapi tak berapa lama lagi hal itu akan segera berubah. Karena, pengembangan peranti lunak maupun peranti keras kini semakin dimungkinkan dilakukan oleh banyak perusahaan. Artinya, ke depan akan semakin mungkin terjadinya perubahan-perubahan yang bahkan drastic dalam melihat dan menangani TI. Untuk itu, tantangan Anda sebagai manajer TI adalah bagaimana Anda dapat mengenai dengan baik apa yang sesungguhnya menjadi tren an apa yang sekedar hype. Karena hal itu yang akan mendukung keberhasilan Anda.

Masa Depan Mulai Dari Sekarang
Kalau Anda pikir bahwa apa yang dikemukan ini cukup mewakili tren yang ada sekarang ini ke depan, maka sebaiknya sekaranglah saatnya Anda menyiapkan diri ke arah itu. Tapi, hal itu tidak menutup pandangan Anda sendiri sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah Anda miliki. Apapun perkembangannya, ke depan perubahan-perubahan yang bahkan drastis sekalipun mungkin terjadi, khususnya yang terkait dengan bidang dan tanggungjawab Anda sebagai manajer TI. Untuk itu, semakin cepat Anda menyadari perubahan dan tren yang berkembang dan semakin cepat pula Anda menyiapkan diri untuk itu, maka akan semakin siaplah Anda menghadapi tantangan masa depan dalam profesi Anda.

Lebaran dan SMS

  • Posted: Thursday, December 01, 2005
  • |
  • Author: pradhana

Lebaran, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, selalu disemarakkan dengan berbondong-bondongnya arus “pulang kampung” alias “mudik lebaran”. Tradisi yang telah berlangsung entah sejak kapan pastinya itu, memang telah memberi nuansa tersendiri ketika lebaran, khususnya idul fitri, tiba.

Mudik ternyata tak hanya berdimensi spiritual - untuk merayakan lebaran bersama sanak keluarga di kampung dan saling bermaaf-maafan - melainkan juga terutama berdimensi sosial dan ekonomi. Dimensi spiritual semakin terasa ketika hal itu tampil dalam keinginan untuk shalat Id bersama dan saling kunjung dan bermaafan atas dosa dan kesalahan yang dilakukan dalam satu tahun silam. Meski, sebenarnya, dalam kurun satu tahun itu tak jarang komunikasi, apalagi bertatap muka, di antara mereka boleh jadi tak terjadi. Namun, untuk saling bermaaf-maafan telah menjadi ritual yang baik, walaupun hal itu tak semestinya hanya dilakukan satu tahun sekali hanya selama masa lebaran, melainkan dapat dilakukan kapan saja.

Mudik lebaran, yang dilakukan puluhan juta orang dalam kurun waktu yang sama, memang merupakan suatu fenomena yang luar biasa, khususnya di negeri tercinta ini. Dan, mudik lebaran, kini, tak hanya menjadi tradisi orang-orang kecil, melainkan juga segala lapisan masyarakat, dari atas hingga bawah. Tak jarang, interaksi yang selama di kota besar tak terjalin lebih dekat, ketika di kampung hal itu bisa mencair dan akhirnya saling lebih mengenal. Unjuk keberhasilan di kota pun tak terhindarkan saat berada di kampung. “O, si Wisnu anak Pak Dikromo itu kini sudah sukses dan kaya di kota. Saat ini ia dan keluarganya tengah ada di kampung”, tak jarang menjadi celotehan di antara sesama warga kampung.

Kota-kota kecil dan kampung pun menjadi ramai dan berbagai jenis kendaraan, dari sepeda motor hingga mobil mewah pun berseliweran di jalan-jalan kota dan kampung. Secara ekonomis, arus uang pun mengalir dalam jumlah yang tak boleh dibilang kecil, apakah itu karena kiriman uang dari mereka yang belum berkesempatan mudik atau belanja orang-orang yang mudik selama berlebaran di kota atau kampung itu.

Arus angkutan umum, baik darat, laut dan udara, maupun kendaraan pribadi, juga memiliki dimensi ekonomis yang luar biasa besarnya. Termasuk juga dalam jual beli, dari panganan, pakaian, kendaraan dan lain sebagainya, juga ikut dalam pusaran arus mudik lebaran ini. Dimensi spiritual, sosial dan ekonomi tampaknya saling beriringan dalam tradisi mudik lebaran. Di sisi lain, mereka-mereka yang katakanlah berjualan atau berdagang di kota-kota besar, setibanya di kampung, untuk sementara berubah menjadi konsumen yang mungkin saja “jor-joran” dalam berbelanja. Dan, kota atau kampung tempat tujuan, pun tak aral ketiban “rezeki” tahunan itu.

Yang menarik, meski mudik lebaran menjadi tradisi dan dilakukan oleh jutaan orang, yang katanya lebih afdol untuk ketemu langsung dengan sanak saudara, orang tua dan keluarga lainnya, namun komunikasi melalui jalur telekomunikasi, baik suara maupun yang kini semakin popular, yakni SMS, tetap meningkat penggunaannya. Telkomsel saja dalam satu hari ketiban sekitar 87 juta SMS, belum lagi operator-operator lainnya, seperti Indosat, Excelcom, Mobile 8, dan Esia.

Tak saja semakin banyak orang, baik muda maupun tua, yang bisa menerima ucapan “Selamat berlebaran dan bermaaf-maafan” melalui SMS, karena memang kini semakin mudah dilakukan, melainkan juga hal itu berdampak ekonomis yang tak boleh dianggap kecil. Kalau saja ada arus 150 juta SMS per hari dan harga per SMS Rp. 250, maka tak urung nilainya bisa mencapai Rp.37,5 miliar per hari.

Nilai itu bukan saja cukup besar, namun di sisi lain, hal itu pun menggerogoti, atau bahkan mengancam pendapatan perusahaan Pos yang selama ini memperoleh pendapatan dari pengiriman paket dan kartu lebaran. Pengiriman kartu lebaran, terutama bagi mereka yang memiliki akses telepon, Internet dan terutama ponsel, mungkin kini tak lagi menarik. Mengirim email, terutama SMS, selain mudah juga murah dan dapat dikirimkan kapan saja dan di mana saja. Sekarang dengan 25 juta pengguna ponsel yang potensial mengirim lebih dari satu SMS, jelas hal itu akan sangat mengancam keberadaan Pos dengan kartu lebarannya.

Itulah lebaran dan tradisi mudiknya yang bukan saja berdampak spiritual, sosial dan ekonomis, tetapi di sisi lain, juga dapat menjadi ancaman aspek lainnya, terutama karena teknologi dan lingkungan berubah dan masih akan terus berubah. Siapa yang mampu ikut dalam arus perubahan itu, mungkin merekalah yang akan meraih keuntungan dari berbagai perubahan yang terjadi.

Spam

  • Posted: Wednesday, November 30, 2005
  • |
  • Author: pradhana

Tak terbayangkan, ketika suatu saat Anda mendapatkan berpuluh-puluh e-mail yang sama sekali bukan karena membalas surat yang Anda kirimkan ke seseorang atau suatu institusi. Anda pun tak tahu dan tak kenal siapa pengirimnya, kecuali alamat e-mailnya saja. Anda pun tak pernah meminta untuk dikirimi surat atau informasi mengenai suatu produk atau jasa atau apapun informasi lainnya. e-mail itu dikirim karena si pengirim mengetahui alamat e-mail Anda. Orang menyebut kiriman surat-surat elektronik semacam itu sebagai spam atau kumpulan junk mail.

Spam tampaknya telah berkembang sedemikian cepatnya dan dikirimkan dengan berbagai tujuan oleh si pengirimnya. Gartner Inc. (www.gartner.com), perusahaan riset ternama dunia, memperkirakan bahwa span telah meningkat jumlah enam belas kali lipat dibandingkan dua tahun yang lalu. Brightmail Inc., perusahaan pembuat piranti lunak yang dapat menaham masuknya spam (www.brightmail.com), menyatakan bahwa jumlah e-mail saat ini antara 10%-30% dari seluruh trafik online. Dan, sebagian besar adalah spam!

Betapapun berbagai upaya sudah dilakukan, termasuk dengan menyediakan berbagai piranti lunak antispam, namu para pengirim spam (spammers) seperti tak kehilangan akal untuk tetap mengirimkan e-mail spam mereka. Mereka, dari hari ke hari, terbukti lebih canggih dan lebih pintar. Untuk mendapatkan alamat e-mail dari Internet, mereka dapat menghimpunnya dengan mengirimkan electronic feelers. Yang lainnya menggunakan komputer untuk membuat jutaan kombinasi dari nama dan alamat e-mail. Spammers juga menyembunyikan asal usul pesan mereka dengan mengirimkan pesan tersebut dari server di luar negeri atau masuk ke suatu komputer (hacking) milik orang lain dan mengirimkan e-mail spam mereka ke mana saja dari komputer tersebut.

Hari-hari ini spam tampaknya telah membuat para pengguna internet tak lagi nyaman. Bukan saja karena jumlah yang banyak, melainkan juga e-mail yang dikirim pun sangat bervariasi mulai dari tawaran penjualan berbagai produk dan jasa, gambar-gambar atau situs porno, penawaran kredit instan atau peluang kerja rumahan.

Selama ini para spammers tampak menikmati sekalgi kegiatannya mengirimkan berbagai e-mail spam. Bagi mereka, kegiatan itu dianggap sebagai peluang penawaran baru kepada sasaran (yang mungkin kurang tepat atau tidak tepat sama sekali) dari ‘bisnis’ yang mereka lakukan atau diminta untuk dilakukan oleh seseorang atau suatu lembaga.

Karenanya, bagaimana membuat mereka jera dan tak mengirimkan lagi e-mail spam semacam itu? Dapatkah dampak spam tersebut dikembalikan ke para spammers sebagai ‘ongkos’ yang harus mereka bayar karena kegiatan yang mereka lakukan?

Lebih dari itu dapatkah mereka dijerat pasal-pasal hukum? Di kalangan pengguna Internet, ada yang tampaknya pasrah dan menerima kenyataan menerima e-mail spam setiap hari. Sebaliknya, banyak juga yang jengah, tapi tak tahu apa yang mesti dilakukan. Menggunakan program antispan, juga tak berjalan efektif.

Dalam situasi itu malah ada yang berpikir bagaimana jika kalangan ISP (Internet Service Provider) dapat mendefinisikan layanan yang mereka berikan sedemikian rupa dengan ketentuan-ketentuan hukum yang kuat dan menuntut para penggunanya yang menyimpang dari ketentuan tersebut. Namun, apakah hal itu akan berjalan efektif tanpa mengganggu kegiatan bisnis mereka?

Sebenarnya, dampak spamming tak melulu berakibat pada si penerima spam. Kalau dihitung-hitung ribuan mungkin juga jutaan e-mail spam menyebabkan masalah teknis di kalangan ISP karena mereka harus menyediakan mesin yang lebih besar untuk menampung e-mail spam tersebut.

Para pengirim spam juga membebani jaringan dengan beban yang sangat berat. Berdasarkan sejumlah kejadian para operator penyedia jaringan mengungkapkan bahwa mereka setidaknya harus membeli sekitar 40% lebih banyak perangkat untuk menanangani e-mail spam yang datang.

Yang lebih parah, ketika sejumlah e-mail spam datang, jika terlalu banyak maka ia akan memenuhi mailboxe kita, dampaknya e-mail yang sebenarnya sangat terkait dengan kita, denganbisnis kita, tak dapat masuk. Hal, boleh jadi, akan sangat merugikan kita. Dan, masih ada sederet dosa-dosa spamming yang dapat kita jejerkan.

Sayangnya, yang mereka pikirkan adalah ‘urusan’ mereka saja , tapi mereka tak pernah mau tahu ‘masalah’ yang diakibatkannya terhadap orang lain. Ironis, memang!

Revolusi vs. Copyrights

  • Posted: Tuesday, November 29, 2005
  • |
  • Author: pradhana

Seorang teman mampir ke kantor sambil menunjukkan “mainan” barunya, yang katanya memang lagi tren. Teman saya ini boleh dikata biangnya perangkat digital baru. Sebutan “gadget mania” mungkin cocok diberikan kepadanya. Pasalnya, dalam setahun ia bisa berkali-kali ganti ponsel, belum lagi PDA, MP3 player, Digital Camera, Digital Dictionary, Stick Memory, dan masih banyak lagi.

Tetapi, mengenai yang terbaru ini, ia sangat menyukainya. MP3 player iPod keluaran Apple yang dibawanya kentor saya itu, katanya mampu menyimpan 1.000 lagu berformat MP3. Kapasitas itu setara dengan storage 40 GB.

Bentuknya mungil (iPod mini, le 2,5” x ti 3,6” x tb 0,5”) dan desainnya sederhana tanpa tombol-tombol yang mencolok, sehingga mudah dimasukkan ke saku baju atau celana. Warnanya bervariasi, ada merah, hijau, krem dan lainnya. Selain tak disibukkan membawa kaset atau CD seperti sebelumnya, lagunya pun bisa diperoleh secara gratis dengan mendownload dari begitu banyak situs web. Kalau pun harus membeli, harganya berkisar USD 0,99 per lagu.

Di Indonesia, hal itu mungkin belum cukup nyata mempengaruhi industri musik. Selain karena pengguna Internet yang masih minim, perangkatnya pun ternyata tidak murah.

Yang menarik, saat ini, tengah terjadi “perang baratayuda” modern di lingkungan industri rekaman, khususnya di Amerika dan Eropa. Tetapi, jika hal ini dikaitkan dengan distribusinya ke seluruh dunia, tentu akan terkait baik langsung maupun tidak.

Munculnya format lagu dalam bentuk kompresi, seperti MP3, WMA dan juga format video yang lebih kecil kapasitasnya, sehingga dapat ditransmisikan melalui jaringan Internet ke seluruh dunia secara cepat. Bagi pengguna Internet, ini jelas peluang baru, begitu juga bagi para pebisnis baru.

Seperti juga tantangan yang dihadapi sebagian besar bisnis konvensional sekarang ini dengan kehadiran Internet, Industri rekaman (musik dan film/video khususnya) menghadapi situasi pepperangan yang dahsyat.

Era Internet telah melahirkan perusahaan-perusahaan skala besar yang sepenuhnya berbasis Internet, seperti Yahoo!, Google, Amazon, dan lainnya, dan pada saat yang sama juga telah memicu perusahaan-perusahaan brick & mortar untuk membangun jejaring mayanya. Sebut saja Barners & Noble (ada toko fisik dan ada toko maya), begitu juga Dell yang menjual komputernya melalui Internet, termasuk Cisco Systems yang menjual router dan perangkat jaringan lainnya, meskipun secara fisik mereka juga memiliki representasi perusahaan sebagaimana perusahaan lainnya. Ekstensi ke jaringan maya merupakan strategi menggunakan Internet dalam membangun keunggulan bisnis skala besar.

Namun, apa yang terjadi di industri rekaman ini, jika tidak diantisipasi secara lebih cermat, bukan tak mungkin perkembangan itu akan menghantam industri rekaman dengan seluruh kanal distribusi fisiknya yang telah ada selama ini. Mungkin saja orang akan berpendapat, bahwa hal itu belum signifikan, karena belum banyaknya pengguna Internet, khususnya kalau kita melihatnya di Indonesia, namun ke depan para penikmat musik dan film akan memiliki berbagai alternatif baru.

Untuk lagu, ada banyak situs web yang menyediakan download lagu-lagu dalam berbagai format melalui akses Internet. Ada juga Napster, yang menggunakan teknologi P2P (peer-to-peer), yang memungkinkan terjadinya file sharing dalam menikmati lagu. Dalam segmen film, juga ada video streaming dan video on demand, yang mengandalkan akses berkapasitas besar (broadband network).

Masalahnya, bukan semata-mata tersedianya teknologi baru yang memungkinkan semua itu, melainkan yang lebih krusial adalah bagaimana menjaga hak-hak para pihak yang terkait, seperti copyright penciptaan lagu dan film serta nilai komersialnya. Bukannya gratis sebagaimana yang terjadi saat ini. Meski, di antara para penikmat musik era baru ini, para penikmat yang berbasis kepemilikan (yang sah) pun masih cukup banyak. Hanya saja, jika hal ini menjadi sesuatu yang “tak tertahankan”, apakah industri rekaman (musik dan film) ini akan mampu bertahan? Atau lebih jauh, akankah industri rekaman akan punah?

Belajar Dari Pengalaman

  • Posted: Monday, November 28, 2005
  • |
  • Author: pradhana

Bertahan dengan rencana tahunan (annual plan), dewasa ini, memang tidaklah mudah. Perubahan-perubahan, baik dalam skala besar maupun kecil, langsung maupun tidak langsung, berlangsung sedemikian cepat, sehingga seringkali menuntut para manajer untuk tetap tanggap atas berbagai perubahan itu. Karena, sangat boleh jadi, kegiatan usaha yang dijalani akan sangat terkait dengan berbagai perubahan tersebut. Tetapi, apakah karena alasan itu kita harus mengubah rencana tahunan di tengah jalan?

Jack Stack, President dan CEO SRC Holdings Corp., Springfield, AS, pernah mengungkapkan, “Jangan sekali-kali mengubah rencana tahunan Anda di tengah jalan, tak peduli seberapa jauh hal itu menyimpang dari rencana semula yang telah Anda tetapkan”.

Mengapa hal itu sangat penting diperhatikan? Tak lain, karena rencana tahunan dibuat, tentunya dengan belajar dari capaian yang di raih pada tahun-tahun sebelumnya dengan memperhatikan berbagai aspek perubahan maupun capaian yang ingin diraih pada tahun berikutnya. Perubahan-perubahan mungkin saja terjadi di tengah jalan, yang dapat mempengaruhi capaian yang diharapkan berdasarkan rencana tahunan itu.

Apa yang bisa dipelajari dari isu ini? Pertama, tetap bertahan dengan rencana tahunan berarti memberi kesempatan untuk benar-benar menerapkan secara utuh rencana yang telah disiapkan pada tahun sebelumnya. Kedua, karena diterapkan secara utuh dan mengikuti rencana tahunan tersebut, ada peluang untuk mengukur kinerja pencapaian yang sesuai dengan apa yang dijalani. Ketiga, tetap bertahan dengan rencana tahunan tersebut berarti memberi peluang bagi setiap orang di dalam perusahaan untuk fokus pada tujuan dan sekaligus memahami dan menyadari deviasi atau penyimpangan yang terjadi, walaupun mungkin menyakitkan.

Bertahan dengan rencana tahunan, tidak berarti membuat para manajer tidak lagi fleksibel menghadapi situasi dan perubahan-perubahan yang terjadi. Sebaliknya, para manajer harus tetap dekat dengan pasar dan secara terus-menerus melakukan revisi terhadap prediksinya (forecast) sehingga lebih mendekati kenyataan yang ada.

Perbaikan dan peningkatan, baik secara kualititif maupun kuantitatif hampir tak dapat dilakukan dengan baik, terutama ketika rencana tahunan yang semula diterapkan tiba-tiba ditubah dan diganti dengan rencana yang baru. Mengubah rencana, sama aja dengan menghilangkan “jejak” yang telah dilakukan dan memulai sesuatunya dari awal lagi yang sesuai dengan rencana yang baru. Sehingga, penyimpangan yang terjadi, tak lagi dapat dievaluasi kinerjanya, karena belum sempat diterapkan secara utuh.

Mengubah rencana di tengah jalan, membuat kesalahan-kesalahan yang terjadi lenyap dan para manajer tak dapat belajar dari kesalahan atau kesilapan yang terjadi tidak lagi dapat dijadikan “pelajaran” agar tidak terulang lagi di tahun-tahun mendatang. Menurut Jack Stack, “Para manajer merasa mengetahui apa yang menjadi sebab terjadinya penyimpangan, tetapi sebenarnya mereka tidak menganalisanya. Mereka tidak fokus pada hal itu dan, karenanya, mereka tidak memperbaikinya”.

Dari pelajaran kecil di lingkungan perusahaan dengan sekian puluh atau ratus karyawan ini, peningkatan (improvement) yang dilakukan secara terus-menerus; melihat ke belakang terhadap apa yang telah dilakukan, penyimpangan apa yang telah terjadi, pelajaran apa yang dapat diambil, sebenarnya bisa ditarik secara luas menjadi masalah yang tengah kita hadapi sekarang ini dengan Indonesia.

Boleh dibilang, kita sangat sulit memahami “kemauan belajar dari masa lalu atau kesalahan yang dilakukan” dari warga negeri ini. Kita seolah sangat cepat melupakan kesalahan atau penyimpangan yang terjadi. Dan, pada saat yang sama, kita terburu-buru untuk melihat sesuatu yang jauh di depan, tanpa lagi peduli apa yang telah kita capai, apa yang telah kita siapkan untuk itu, apakah yang kita lakukan sudah benar atau tepat, atau justru melahirkan “set-back”. Itu hampir tak lagi kita pertanyakan.

Belajar runtut dari pengalaman yang lalu, mau mengakui kesalahan untuk kemudian tidak melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari, menyiapkan langkah-langkah yang semakin hari semakin meningkat, seringkali luput dari pikiran kita, karena kita semakin sibuk dengan segala “yang instan”. Termasuk mengubah rencana “ di tengah jalan” itu. Mau belajar dari kesalahan, memang butuh waktu untuk kita sadari sepenuhnya!

Berharap Dari TI

  • Posted: Sunday, November 27, 2005
  • |
  • Author: pradhana

Sesungguhnya, tak ada harapan lain yang dipinta dari pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kecuali membangun suatu harapan baru. Harapan yang memungkinkan kita, sebagai bangsa, memiliki visi jauh ke depan, yang secara bertahap bangsa ini akan dibawa ke suatu kehidupan yang lebih baik.

Kalau ditanya orang per orang, maka akan sangat banyak harapan yang dipikulkan di pundak pemerintah saat ini. Namun, meski tak mungkin menyelesaikan begitu banyak persoalan, ketertinggalan yang jauh dibandingkan negara-negara lain yang sejajar di Asia, namun setidaknya masa pemerintahan yang relatif singkat, yang diemban SBY saat ini, mestinya bisa memberikan orientasi yang lebih jelas arahnya, dan lebih nyata jejak langkahnya.

Ibarat benang kusut, memang tak mudah untuk menemukan suatu pangkal tempat bermula. Keterpurukan ekonomi yang parah, yang berdampak ekonomis pada, terutama lapisan masyarakat bawah yang, memang, sejak lama berada di posisi yang marjinal, tidak pada saat yang sama mendorong banyak orang untuk menyadarinya. Sebaliknya, bangsa ini semakin terasa kehilangan dimensi ”nilainya”, sehingga penyalahgunaan wewenang, jabatan dan kepercayaan semakin parah terjadi. Korupsi, sepertinya tak lagi malu-malu menampakkan dirinya dan melanda semakin banyak orang, di berbagai lapisan masyarakat, dari bawah hingga ke atas.

Bangsa ini seperti kehilangan orientasi, masyarakat semakin kehilangan panutan atau setidaknya orang-orang yang dapat diteladani, bukan semata-mata karena kesuciannya, tetapi sedikit saja lebih bijak, lebih jujur, dan lebih bisa menyadari ”keadaan dan kodisi” bangsanya saat ini. Masyarakat semakin berangan-angan, bahwa ketika terjadi bencana, misalnya, ada masyarakat bangsa yang mau bergandeng tangan membantu. Kalau pun tak dapat membantu, dengan alasan apapun, setidaknya tak membuat hidup mereka lebih buruk, karena hak-hak mereka tak semestinya disalahgunakan hanya untuk kepentingan sekelompok orang tertentu.

Dalam kondisi dimana korupsi telah sedemikian luas dilakukan, baik dalam skala kecil hingga besar dan sangat besar; dari kelas teri hingga kelas kakap; masyarakat semakin merindukan hadirnya orang-orang yang masih peduli untuk secara jujur dan rendah hati mau bergandeng tangan membangun bangsa ini. Meski kemauan saja tak lagi cukup, melainkan sangat diperlukan suatu sistem dan orang-orang yang rela untuk mengikuti sistem itu, dan bukan sebaliknya membangun sistem dan kemudian melanggannya – bahwa sistem dibuat memang untuk dilanggar, itulah selalu alasannya.

Kalau ada yang berpendapat bahwa bangsa ini harus memiliki suatu pemerintahan yang legitimate dan kuat, yang memiliki political will dalam membangun menuju suatu bangsa yang maju, yang lebih bernilai dan bermartabat, mungkin tak hanya cukup sampai di situ. Masih diperlukan suatu sistem – aturan, organisasi, perangkat hukum dan kesungguh-sungguhan dalam menerapkannya – yang didukung oleh mereka-mereka yang rela menjadi panutan bagi banyak orang lainnya.

”Kalau tak ada lagi orang yang dapat dan layak dijadikan panutan, maka jadikanlah dirimu sendiri menjadi panutan, setidaknya bagi lingkungan terkecil dalam kehidupanmu,” demikian Aa Gym sering menyampaikan dalam ceramahnya.

Aa Gym mungkin benar, karena ketika setiap masing-masingnya mau merelakan dirinya menjadi panutan, meski dalam skala kecil, maka akan semakin mungkin memunculkan suatu masyarakat yang lebih baik, yang akan mempengaruhi lingkungan yang lebih luas. Namun, pertanyaannya, kalaulah mudah untuk melakukan hal itu, mengapa hingga saat ini masih banyak orang yang mencari-cari orang lain untuk dijadikan panutan dan, bahkan, dirinya sendiri pun tak muncul sebagai panutan dalam lingkungan yang paling kecil sekalipun?

Apakah benar kita tidak lagi membutuhkan seorang panutan? Mungkin ya, mungkin tidak. Atau, mungkin kita tengah merindukan munculnya suatu bentuk ”pemaksaan’, baik oleh sistem maupun hukum, termasuk pemaksaan terhadap penerapan hukum itu secara sesungguhnya (law enforcement).

Pertanyaannya, siapa pula yang akan kita pilih untuk menjadi penegak dalam penerapan hukum itu sendiri? Mungkinkah kita menyerahkannya pada teknologi informasi (TI) untuk menjaga kita semua agar patuh dalam suatu sistem yang kaku, yang lebih sistemik dan logis, tetapi juga lebih jujur? Wallahu alam!

Transparansi

  • Posted: Saturday, November 26, 2005
  • |
  • Author: pradhana

Dalam sebuah buku yang terbit Oktober 2003 lalu, yang berjudul ‘The Naked Corporation: How the Age of Transparency Will Revolutionize Business’, Don Tapscott dan David Ticoll, menampilkan suatu argumentasi yang menarik. Keduanya menyoroti bahwa sesungguhnya tidak ada kontradiksi antara suatu bisnis yang baik dengan nilai-nilai kejujuran dan keterbukaan. Suatu persepsi yang mungkin di banyak orang akan ditangkap secara sangat berbeda, ada yang setuju dan ada yang tidak.

Namun, ada suatu kekuatan yang saat ini telah menjadi tekanan baru terhadap perusahaan dan persaingan. Kekuatan transparansi yang sangat kuat, yang saat ini mendapatkan momentum untuk mendorongkan berbagai perubahan di lingkungan perusahaan.

Ditegaskan bahwa transparansi telah bergerak ke titik pusat berbagai perubahan. Transparansi dan nilai-nilai korporat sangat potensial meningkatkan nilai pasar (market value). Selain itu, transparansi merupakan sesuatu yang sangat penting, baik bagi mitra bisnis, menurunkan biaya transaksi antar perusahaan dan memungkinkan suatu kerjasama dalam perdagangan.

Di sisi lain, keduanya juga menjelaskan bagaimana transparansi telah menyebabkan suatu power shift terhadap pelanggan, karyawan, masyarakat, mitra bisnis dan bahkan pemegang saham. Juga, bagaimana dan di mana informasi membludak dan bagaimana perusahaan-perusahaan dari berbagai industri telah menempatkan transparansi tidak hanya sebagai tantangan, melainkan juga peluang.

Sebagai peluang, maka setiap upaya untuk membangun transparansi sekaligus merupakan naikan anak tangga untuk melakukan berbagai kegiatan usaha secara tepat dan benar. Secara tepat, karena segala sesuatunya akan disesuaikan dengan kebutuhan dan porsinya masing-masing, baik besar maupun kecil. Benar, dilakukan berdasarkan kaedah-kaedah yang diterima umumnya industri, serta sistem nilai yang dipegang, baik itu terkait dengan bisnis, pemegang saham, pelanggan maupun masyarakat.

Dengan transparansi, kalau kita mau lebih dalam merasakannya, ada peluang semua pihak yang terkait dengan bisnis, baik itu karyawan, pemegang saham, pelanggan maupun investor, untuk mendapatkan informasi secara terbuka mengenai perusahaan, produk, jasa dan sebagainya. Tentunya, hal itu akan terkait dengan nilai penting dan relevansinya terhadap tatanan organisasi, sehingga masing-masing akan memperoleh akses terhadap informasi yang sesuai.

Sebaliknya, transparansi semakin mendorong ke dalam, semua yang terlibat dalam proses internal perusahaan, untuk menjalankan berbagai kegiatan bisnis secara tepat dan benar. Selain adanya kebijakan, juga dibutuhkan data dan informasi yang bukan saja yang dibutuhkan, melainkan juga berasal dari sumber data dan informasi yang tepat. Sehinga, dengan begitu, data dan informasi yang diperoleh dan ditampilkan merupakan data dan informasi yang valid dan benar.

Dalam kaitan itu, peran teknologi informasi (TI) bukan saja sangat penting, melainkan strategis. TI memungkinkan terjadinya pengelolaan usaha yang berbasis data dan informasi yang saling terkait, sehingga membentuk suatu jaringan di mana data dan informasi dapat diperoleh dari banyak tempat, dipilah-pilah, dihimpun dan kemudian disusun dalam suatu bentuk pelaporan. Dengan TI, bukan saja mampu dilakukan modifikasi dan kustomisasi yang diinginkan, melainkan juga memungkinkan dibuatnya berbagai keputusan dan kebijakan yang didukung oleh tersedianya data yang akurat dan mencukupi.

Semua itu, akan juga berdampak pada pembuatan keputusan-keputusan strategis, yang pada gilirannya akan memberikan nilai tambah yang sangat penting bagi kegiatan usaha. Dan transparansi, berarti juga memberikan kesempatan pada pihak lain, baik di dalam maupun di luar perusahaan, untuk memahami secara baik apa yang tengah terjadi dan bagaimana perusahaan tersebut dijalankan.

Karenanya, transparansi yang didukung oleh diterapkannya TI akan semakin mendorong setiap pengambil kebijakan di dalam perusahaan untuk berhati-hati dalam membuat suatu keputusan dan mengambil tindakan. Karena apapun yang dilakukan akan dapat dengan mudah dipantau pihak lain yang terkait. Dengan begitu, transparansi taidak saja merupakan tantangan yang harus dihadapi, melainkan jika dilakukan dengan bijak justru akan membuka peluang baru.

Sistem Informasi KPU

  • Posted: Friday, November 25, 2005
  • |
  • Author: pradhana

Munculnya “kesinisan” masayarakat terhadap kehandalan Sistem Informasi Komisi Pemilihan Umum (SI-KPU) belakangan ini, setidaknya memunculkan nuansa lain. Dalam kondisi dimana masyarakat kita belum begitu kuat memahami bagaimana peran teknologi informasi (TI) dalam suatu proses, dan harapan yang tinggi seolah-olah TI adalah “mahaguru” yang sangat pintar, memunculkan harapan yang kelewat tinggi.

Di satu sisi, harapan yang tinggi yang menempatkan penerapannya sebagai sesuatu yang sangat ideal, sedang di sisi lain muncul kekecewaaan bahkan penolakan terhadap TI karena tak mampu memenuhi harapan yang terlanjur sudah melambung sangat tinggi. Salahkah teknologi informasi, sehingga harus dihujat sedemikian rupa?

Sayangnya, meski di kalangan masyarakat sendiri persepsinya terbagi, antara yang sinis dengan yang optimis, namun TI sudah terlanjur “memiliki” citra buruk, karena dianggap tak memiliki kredibilitas untuk digunakan dalam sistem penghitungan suara Pemilu yang cepat, tepat dan transparan. Sebagai suatu sistem, TI akan sangat terkait dengan banyak hal yang melingkupinya, yang kesemuanya akan sangat dituntut mampu menunjukkan kinerja yang setara, sedang TI sebagai sistem akan bekerja secara baik kalau sistemnya baik.

Ibarat sempoa, alat hitung tradisional yang banyak digunakan pebisnis Tionghoa, sebenarnya sebagai suatu sistem akan sama dengan menggunakan TI. Hanya saja, kemampuan sempoa dan TI yang justru berbeda, baik dalam kecepatan, ketepatan maupun kemampuan lain TI yang jauh melampaui kemampuan sempoa. Sebagai sistem, ketika input-process-output tak berjalan dengan semestinya, sebagaimana dirancang sebelumnya, maka ia tak mampu menunjukkan kinerja yang diharapkan.

Namun, apapun alasannya, wajah TI kini telah tercoreng dan untuk sebagian orang telah muncul pandangan bahwa TI tak mampu melakukan “tugasnya” dengan baik sebagaimana yang diharapkan. Kalau dicari-cari, maka akan ada berkilometer panjangnya alasan untuk menyalahkan penerapannya. Tapi, pada saat yang sama ada juga berkilometer alasan untuk mengungkapkan nilai penting dan strategisnya. Keduabelah pihak yang berseberangan dalam melihat masalah ini akan saling menuding dan defensif dan itu tidak sama sekali menyelesaikan masalahnya secara lebih proporsional.

Yang justru sangat kita perlukan sekarang ini adalah memberi kesempatan sistem yang ada sekarang ini untuk berjalan sampai menyelesaikan penghitungan suara secara tuntas dan masyarakat memperoleh kepastian mengenai penghitungan suara Pemilu 2004 ini. Karena itulah tujuan yang semula kita harapkan dari penerapan TI SI-KPU.

Setelah itu semua usai, beberapa pihak yang merasa terkait dengan itu, terutama KPU sendiri perlu melakukan introspeksi ke dalam, melihat kembali bagaimana sistem yang diterapkan dan membandingkannya dengan rencana semula, apakah namanya grand design atau lainnya. Keterbukaan untuk melihat masalahnya dengan jernih yang justru akan semakin mempercepat kita bisa memperoleh kejelasan apa yang sesungguhnya terjadi, dan bagaimana keterlambatan pengiriman, penghitungan atau tabulasi suara bisa terjadi.

Perlu kepala dingin untuk melihat semua itu, menilai kembali apa yang terjadi, apa yang telah diterapkan dan bagaimana semua proses dijalankan. Perlu kelapangan jiwa pelaksana yang sekarang ini, bukan sebaliknya malah defensif seolah telah melakukan semuanya secara sempurna, sehingga menuding kesalahannya ada pada orang lain. Sebaliknya, perlu keberanian untuk mengungkapkan secara jelas apa yang dilakukan, bagaimana penilaian awal terhadap masalah yang dihadapi, dan pada saat yang sama ada kesediaan untuk menerima kritik, bahkan tudingan sekalipun, sepanjang hal itu proporsional dengan masalah yang dihadapi.

Hanya dengan begitulah, bangsa ini akan mampu menunjukkan suatu proses dan sistem yang lebih terbuka, yang lebih bertanggung jawab, sehingga semakin mendorong untuk kemudiannya melakukan sesuatu secara lebih baik dan benar. Mengakui kesalahan, atau kekurangan dari npelaksanaan suatu tanggungjawab mungkin selama ini menjadi “barang langka” di negeri ini. Dan, itu jelas sangat merugikan bagi pembangunan bangsa ini menuju cita-cita reformasi yang telah dicanangkan.

Hendaknyalah, jika hal ini dapat diklarifikasi secara lebih terbuka dan jujur, mungkin ini akan menjadi embrio bagi kesadaran, kejujuran dan keterbukaan yang lebih besar di masa yang akan datang.

Harapan Baru

  • Posted: Thursday, November 24, 2005
  • |
  • Author: pradhana

Gegap gempita Pemilu 2004 secara esensial telah usai seiring terpilihnya anggota legislatif, termasuk DPD dan Presiden/Wakil Presiden RI yang baru. Dengan itu, yang kemudian muncul adalah apakah semua itu mampu melahirkan harapan baru, yang secara sungguh-sungguh akan membawa jalan baru bagi kemajuan bangsa ini dari sekarang ke depan. Apakah, baik DPR/MPR maupun presiden baru ini akan sungguh-sungguh “mau” secara bersama mendorong bangsa ini untuk maju, bukan saja hanya bermain dalam “jargon politik”, yang menjadi konsumsi PR bagi masyarakat, melainkan merealisasikan sesuatu yang secara nyata dirasakan dan dinikmati masyarakat?

Dalam begitu luasnya aspek yang harus ditangani pemerintah ke depan, salah satunya adalah pengembangan penerapan ICT, baik dalam konteks aplikasi, implementasi maupun bisnis.

Dalam konteks aplikasi bagaimana pemerintah memberi lingkungan yang memungkinkan munculnya dorongan berkreativitas, baik dalam membuat berbagai aplikasi, memanfaatkan berbagai aplikasi yang sudah ada, yang menunggu pemanfaatan lebih lanjut, terutama di lingkungan lembaga-lembaga pemerintah. Hal ini diharapkan akan semakin mendukung percepatan penanganan pemerintahan maupun akuntabilitasnya. Berbagai aplikasi itu, dapat mulai dari yang sederhana, dari memasukkan data dan informasi yang mendorong ketersediaan data dan informasi yang lebih komprehensif dan terbarui ke depan hingga aplikasi-aplikasi yang lebih komprehensif, yang menuntut keahlian tersendiri.

Pemanfaatan berbagai aplikasi yang ada ini, mestinya dapat dioptimalkan untuk mendukung tersedianya data dan informasi dalam memberikan pelayanan publik, yang nantinya juga akan berdampak pada pemanfaatan lebih luas ke aplikasi-aplikasi lainnya. Yang lebih spesifik dan strategis.

Sedang implementasi, tentu harus pula diiringi dengan visi yang jelas, baik menyangkut kebutuhan maupun kegunaannya yang memang sangat strategis bagi mendorong munculnya manfaat-manfaat lainnya, yang semakin menuntut aspek kecepatan, kejernihan dalam mengambil keputusan, memberi arahan gambaran dan proyeksi yang kondusif dalam membuat perencanaan. Bukan saja perencanaan yang sangat strategis, melainkan juga sangat antisipatif terhadap perkembangan bangsa ini, khususnya dalam konteks regional, yang dalam banyak sisi memang harus diakui tertinggal. Potensinya diakui sangat besar, namun implementasinya, yang hingga kini belum muncul.

Sementara dalam konteks bisnis, pemerintahan yang baru ini diharapkan akan semakin peka dengan dinamika perkembangan ICT dan pemanfaatannya dalam lingkungan pemerintahan maupun dalam lingkungan bisnis dan masyarakat pada umumnya. Dukungan dengan visi yang jelas yang menggambarkan arahan apa yang akan dicapai oleh bangsa ini dalam pembangunan ke depan dan “tempat” dimana ICT dapat mendukung dan berperan penting. Pada saat yang sama, hal itu diharapkan akan semakin mendorong munculnya gambaran yang jelas, kebijakan yang kondusif, hukum yang kuat dan investasi yang meningkat, perangkat-perangkat kebijakan dan tata aturan yang direalisasikan secara nyata, yang semua itu akan semakin menciptakan iklim bisnis dan investasi yang menarik dan berpengharapan, mulai saat ini ke depan.

Dengan kata lain, arahan yang jelas saja sudah memberi peluang untuk dapat mendefinisikan secara jelas apa yang akan kita lakukan ke depan. Apalagi, jika hal itu diiukti dengan berbagai dukungan dan kebijakan yang kondusif, yang nantinya akan mendapat ujian di dunia nyata, bagaimana suatu kebijakan dan tata aturan, memang memberi dukungan positif bagi berkembangnya aplikasi, implementasi dan bisnis ICT yang lebih strategis dan bervisi.

Namun, semua itu pada awalnya, memang menuntut “komitmen” dan “kemauan” yang kuat, tidak saja dari pemerintah dengan segenap jajarannya, DPR dan MPR dengan segala “kemampuan dan kewenangannya” dan masyrakat, baik masyarakat umum, dunia bisnis, lembaga pendidikan dan penelitian, serta lembaga-lembaga yang terkait. Tak urung, juga menuntut visi dan budaya yang lebih kondusif dari seluruh anggota masyarakat, baik yang menjabat, praktisi, akademisi maupun kalangan pemerintahan.

Pertanyaannya, mampukah kita, dengan adanya pemerintahan baru dan legislatif baru, memanfaatkan “waktu” dan “peluang” menjadi lebih bermakna. Atau, justru kita akan jatuh dalam membiarkan “waktu” terus berlalu, dan kita pun lebih banyak berpolemik, berpolitik, menuding, daripada kreatif dan konstruktif membangun bangsa ini. Waktu lima tahun ke depan inilah yang akan membuktikannya!

Paradigma CRM

  • Posted: Wednesday, November 23, 2005
  • |
  • Author: pradhana

Persaingan bisnis dewasa ini tak hanya bertumpu pada kualitas produk, melainkan lebih pada kualitas layanan, yang lebih mendorong pelanggan untuk kembali membeli produk atau menggunakan solusi yang Anda tawarkan. Namun, tidak berarti produk yang Anda pasarkan boleh yang tidak bermutu. Tetapi inti persaingan tidak semata-mata ada di produk, terutama jika produk yang ditawarkan memiliki pesaing yang kurang lebih sama.

Lain halnya untuk produk-produk yang secara esensial bersifat unik, bermutu tinggi dan memiliki diferensiasi yang kuat, sehingga pelanggan akan memiliki value yang jelas, meskipun ada produk-produk yang sejenis. Tetapi core value yang dimiliki produk tersebut memberi nilai tersendiri yang boleh jadi tak dimiliki oleh produk lainnya.

Namun, kualitas layanan tetap menjadi sesuatu yang sangat penting. Khususnya lagi dalam menghadapi pelanggan yang membutuhkan level of excellence yang tinggi, misalnya pelanggan-pelanggan di kelas premium.

Pelayanan yang bermutu tinggi, dalam artian mampu memberi keselarasan terhadap kebutuhan pelanggan, khususnya lagi di kelas-kelas atas, jelas akan sangat berbeda dan menuntut pemenuhan yang juga tremendous. Namun, secara esensial, baik pelanggan kelas atas, menengah bahkan bawah sekalipun membutuhkan pelayanan yang baik dan bermutu, hanya saja tingkatannya yang berbeda-beda.

Secara diskrit tingkatan mutu pelayanan akan sejalan dengan seberapa besar si pelanggan siap membayar untuk itu. Semakin tinggi kesediaan pelanggan membayar untuk suatu produk atau jasa, yang selalu diikuti dengan semakin tingginya ekspektasi mereka, maka akan semakin tinggi pula tuntutannya kepada penyedia produk atau jasa.

Sebaliknya, perusahaan-perusahaan dituntut untuk semakin mampu menangkap inti “keberadaannya” yang sesungguhnya, sehingga mampu memberikan pelayanan yang benar-benar memiliki value yang setara dengan yang diharapkan pelanggan. Kesenjangan nilai pemenuhan perusahaan dengan yang diharapkan pelanggan, dalam artian ketimpangan antara kesiapan pelanggan membayar dengan value yang dapat diberikan perusahaan, baik itu menyangkut produk atau jasa, akan membuat pelanggan cenderung beralih ke pesaing.

Karenanya, kalau kita amati sesungguhnya inti persaingan saat sekarang ini lebih pada bagaimana perusahaan atau penyedia jasa menyadari betul “posisinya”, siapa target market yang disasarnya, seberapa tinggi kualitas produk atau jasanya. Yang tak kalah pentingnya adalah seberapa tinggi value yang mampu diberikannya kepada pelanggan dan bagaimana dia memperlakukan pelanggan dari hari ke hari.

Dengan begitu, “membangun relasi” yang baik dengan pelanggan akan jauh lebih bermakna bagi pelanggan daripada sekadar “menjual” karena produk atau jasa yang bermutu tinggi. Karena, dalam kenyataannya, akan selalu ada produk atau jasa yang akan menyaingi produk atau jasa yang Anda tawarkan, kecuali untuk produk atau jasa yang benar-benar unik, langka dan tak banyak orang yang menyediakannya.

Membangun hubungan pelanggan yang benar-benar dekat, sehingga Anda mengetahui banyak hal mengenai pelanggan Anda, memang tidaklah mudah. Apalagi, kalau jumlah pelanggan Anda cukup banyak yang hampir tidak memungkinkan Anda memahami satu per satu pelanggan Anda dengan baik dan lengkap.

Untuk itu, dibutuhkan suatu cara yang tepat yang memungkinkan perusahaan Anda mengetahui pelanggan Anda secara lebih baik, sehingga mampu melayani mereka secara lebih baik pula. Dalam terma moderen dewasa ini cara terbaik membangun hubungan dengan pelanggan adalah membangun apa yang disebut Customer Relationship Management (CRM).

Namun, CRM sebagai sebuah sistem akan tetap tinggal sebagai suatu sistem, yang bila tidak dikembangkan dan dioptimalkan, ia tak akan mampu memberi nilai yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh pelanggan. Kesadaran akan nilai pentingnya pelangganlah yang justru akan mendorong penerapan CRM memiliki nilai, baik bagi perusahaan atau penyedia jasa dan juga pelanggan.

Karenanya, pelangganlah yang semestinya menjadi sandaran pembangunan CRM, bukan justru sebaliknya CRM yang akan membangun pelanggan!

Visi Yang Jelas

  • Posted: Tuesday, November 22, 2005
  • |
  • Author: pradhana

Dewasa ini, perhatian kalangan bisnis tidak lagi semata-mata time-to-market, melainkan muncul kesadaran baru dan sangat fokus pada aspek pengurangan biaya (cost reduction). Konsekuensinya, efisiensi dan efektivitas menjadi kata kunci dalam setiap mempertimbangkan kegiatan perusahaan, mulai dari penyediaan bahan baku, pemrosesan dan pembuatan produk, hingga penyampaiannya ke pasar, serta kegiatan promosi dan iklan.

Namun, umumnya, perhatian mereka lebih pada segi pengeluaran, yang realisasinya terwujud dalam bentuk pengurangan budget, pemotongan biaya, atau, bahkan, penghapusan sejumlah kegiatan, yang dianggap tidak secara langsung mendukung peningkatan profitabilitas perusahaan. Apa yang mereka sebut efisiensi dan efektivitas masih sering yang secara finansial terlihat sangat nyata. Padahal, masih banyak aspek yang kalau tidak jeli melihatnya, justru hal itulah yang menjadi salah satu sumber pemborosan biaya yang cukup besar.

Pengurangan biaya demi efisiensi yang dilakukan secara berlebihan, bukan saja akan berdampak pada menurunnya realiasi kegiatan, melainkan juga pada dorongan moral karyawan dalam melakukan setiap tugas pekerjaannya. Sebaliknya, terlalu berlebihan, bukan saja akan meningkatkan biaya, tetapi juga tidak memberikan pelajaran yang efektif bagi karyawan dalam melakukan tugas pekerjaannya secara efisien dan efektif.

Apa yang dialami perusahaan piranti lunak “Rational Software” menarik untuk disimak. Suatu waktu, perusahaan yang berkedudukan di Amerika ini mengalami penurunan pendapatannya. Tapi simak apa yang justru dilakukan Mike Devlin, Co-founder Rational Software dalam menghadapi masalah tersebut.

"Delapan belas bulan yang lalu, ketika pendapatan perusahaan mengalami penurunan, kami harus memutuskan apakah akan mengurangi struktur biaya atau sebaliknya terus melakukan investasi, guna mencoba meraih pangsa pasar yang lebih besar. Tahukah Anda apa yang kami putuskan? Kami memutuskan untuk tetap mengeluarkan 25-30 persen dari pendapatan kami untuk biaya riset dan pengembangan (R&D). Dan itu dengan pertimbangan sepanjang cash-flow kami positif,” jelas Mike Devlin.

Satu pelajaran lain yang tak kalah menariknya adalah fenomena kahadiran hypermarket Carrefour di Indonesia. Di saat Indonesia mengalami awal masa krisis, dimana tingkat keamanan boleh dibilang masih sangat rawan, perusahaan pengelola hypermarket Perancis ini, justru secara besar-besaran membuka pusat penjualannya. Sekarang, tak kurang dari sepuluh pusat penjualan telah di bangun di Jakarta. Di Paris, Perancis, bahkan Carrefour tidak memiliki pusat penjualan sebanyak itu.

Mungkin mereka sangat efisien, namun keberhasilan bisnisnya tak hanya bertumpu pada efisiensi semata. Melainkan, seperti ditunjukkan Carrefour, lebih pada pemikiran strategis, keberanian mengambil risiko bisnis, jeli melihat peluang, dan tentu didukung oleh “proses bisnis” dan sistem pengelolaan yang tepat dan andal.

Begitu juga dengan penerapan teknologi informasi (TI) di perusahaan. Apakah penerapannya hanya berdasarkan pertimbangan finansial semata? Bukankah sebagai enabler, TI mestinya lebih dilihat sebagai upaya yang “memungkinkan” pencapaian misi perusahaan yang sesuai dengan visi yang telah ditentukan? Karenanya, bukan mustahil penerapan TI dapat meningkatkan biaya, memboroskan waktu dan tenaga. Kecuali, bila hal itu dilakukan secara tepat dan dengan visi yang jelas, yang secara finansial juga mestinya reasonable.

Karenanya, jangan terjebak pada aspek finansial saja, lihatlah lebih luas, karena ada banyak aspek lain yang seharusnya juga diperhatikan. Pertimbangan finansial hanyalah salah satu aspek, dan bukan satu-satunya.

Kontroversi

  • Posted: Monday, November 21, 2005
  • |
  • Author: pradhana

Kontroversi di seputar pemanfaatan Teknologi Informasi (TI) oleh KPU pada sistem tabulasi suara pemilih dalam Pemilihan Umum, baik legislatif maupun presiden, masih terus berlanjut. Berbagai pandangan menghiasai kontroversi itu, yang tentu didasarkan pada alasan, nalar dan argumen-argumen yang dilihat dari sudut pandang tertentu yang dibawa oleh masing-masing yang berbeda pendapat itu.

Jamak rasanya ketika ada suatu perbedaan pendapat, masing-masing merasakan dirinyalah yang paling benar, yang paling nalar dalam mengajukan argumen, yang ujungnya berharap pandangannya itulah yang dibenarkan atau didukung untuk “memenangkan” opini publik. Dalam suatu kontroversi yang terkait dengan kepentingan publik, memenangkan opini publik menjadi sasaran yang niscaya.

Namun, dalam lingkungan masyarakat yang baru “berdemokrasi” seperti Indonesia dewasa ini, memenangkan opini publik tidak pada saat yang sama juga berarti memenangkan kepentingan publik dalam arti yang luas.

Bukan berarti pula bahwa perdebatan di negara-negara maju sudah pasti berpihak sepenuhnya pada kepentingan publik yang lebih luas. Karenanya, yang mungkin masih bisa diharapkan adalah munculnya bentuk-bentuk “perimbangan” pandangan untuk menuju pada tataran yang lebih baik, yang tidak lebih dominan untuk kepentingan tertentu dan mengabaikan kepentingan yang lain.

Kontroversi yang terjadi di seputar penerapan TI KPU pun mencuatkan sudut pandang yang berbeda pula. Keberagaman pemikiran dan sudut pandang, karena perbedaan latar belakang, pemahaman dan “kepentingan” juga mestinya memang diperhatikan. Namun, berbagai kepentingan itu seharusnyalah diletakkan pada tataran yang lebih luas, lebih tinggi dan lebih strategis, untuk memenuhi makna dasar tujuan penerapannya.

Kepentingan masyarakat untuk memperoleh informasi yang lebih akurat, sebagai representasi pilihannya dalam Pemilu, sistem TI yang lebih terbuka yang dapat secara langsung dicek oleh masyarakat, lebih cepat terakumulasi dan, pada saat yang sama, juga bisa dilakukan cek silang (cross check), mestinya menjadi perhatian dalam beragam pandangan itu.

Sebaliknya, kalau ada yang masih belum sempurna dalam penerapannya, karena masih minimnya sosialisasi penggunaannya, atau ada sesuatu yang perlu diklarifikasi dari realitas penggelarannya, baik menyangkut investasi, pemasangan, keandalan sistem dan lain sebagainya, tidak pada saat yang sama menegasikan kepentingan dan hak masyarakat untuk memperoleh informasi berbasiskan TI itu.

Secara hukum keabsahan itu, memang didasarkan pada hasil rekapitulasi tertulis yang diberikan oleh jajaran KPU dari yang paling bawah hingga ke KPU pusat. Namun menafikan penggunaan TI, berarti menghilangkan kepentingan dan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang lebih terbuka, karena dapat diakses kapan saja dikehendaki; dan bisa ditelusuri hingga ke unit-unit penghitungan suara terkecil, yakni TPS.

Belum menjadikan TI sebagai dasar proses pemilihan dan sekaligus penghitungan suara, karena memang perlu suatu proses pembelajaran yang panjang, kesiapan yang lebih baik dan didukung oleh infrastruktur yang luas dan SDM yang berketrampilan, tetapi mestinya tidak menafikannya. Kalau ada yang salah, ya diperbaiki, kalau ada yang kurang, ya dilengkapi dan kalau ada kecurangan, yang diadili.

Namun, menghapuskan penerapannya, berarti menutup diri dari kemungkinan mendapatkan pengalaman dan pembelajaran yang penting. Karena kita percaya, bahwa suatu sistem TI yang dirancang dan diterapkan dengan sungguh-sungguh, bukan saja akan mendorong akurasi dan kecepatan proses dan pengumpulan data, melainkan juga memunculkan transparansi dan nilai-nilai strategis baru.

Di sisi lain, kita pun percaya, bahwa esensi dari demokrasi bukanlah dominasi, baik kekuasaan, informasi atau kepentingan, melainkan liberalisasi yang mendorong pencapaian yang lebih baik, lebih tinggi, dan lebih strategis. Terutama karena “persepsi dan pemahaman”, yang kemudian diikuti oleh penerapan atas sesuatu, menjadi lebih terbuka untuk dicermati dan sekaligus juga dikontribusi.

Karenanya, kontroversi atas nama demokrasi, mestinya juga menjadi esensi perambahan jalan menuju transparansi, tanggungjawab, dan pencapaian masyarakat yang lebih baik, bukan malah sebaliknya dominasi dan degradasi.

Konten dan Pelanggan

  • Posted: Sunday, November 20, 2005
  • |
  • Author: pradhana

Terlepas dari standar mana yang akan digunakan oleh para operator di Indonesia, layanan 3G tetap akan berhadapan dengan tiga hal penting yang dinilai akan menjadi kunci sukses perkembangannya ke depan, yakni: Konten, Harga dan Pelanggan. Meski, teknologi yang digunakan, memang berdampak pada investasi yang akan dikeluarkan oleh para operator, termasuk izin frekuensi 3G yang harus dibayarnya, namun kedua standar itu (3G WCDMA dan CDMA 200 1xEVDO) pastilah akan sangat mendukung suatu layanan 3G yang bermutu tinggi.

Masalahnya, 3G WCDMA memang didukung oleh para operator GSM yang telah ada sekarang ini, yang memiliki basis pelanggan yang sangat besar, yakni telah menjangkau lebih dari 200 negara dengan lsekitar 1,25 miliar pengguna. Sedang CDMA, yang mengusung CDMA 2000 1xEVDO, memiliki sekitar 202 juta pengguna di seluruh dunia.

WCDMA, yang diperkirakan memiliki kecepatan 2-3Mbps, juga berpotensi untuk mencapai kemampuan transfer data hingga 14,4Mbps jika ditingkatkan ke HSDPA (High Speed Downlink Packet Access). Sedang CDMA tampaknya akan bergerak ke CDMA2000 1xEVDO (2,5Mbps) dan EVDV (3,1Mbps). WCDMA, yang dianggap sebagai evolusi GSM, dimana sebelumnya diantarai oleh layanan GPRS dan EDGE, di Indonesia dianut oleh Telkomsel, Indosat, dan XL. Sedang CDMA 2000, digunakan oleh para penyelenggara jasa layanan telekomunikasi (mobile cellular maupun fixed wireless telephone), yakni Mobile-8, TelkomFlexi, Esia, dan StarOne.

Keberhasilan peneraan 3G, dewasa ini, tampaknya masih mengacu pada keberhasilan operator NTT DoCoMo (FOMA, turunan dari WCDMA) dan KDDI (CDMA2000 1xEVDO) di Jepang. Meski penggelaran infrastruktur operator di kawasan Eropa bisa dikatakan yang paling luas. Namun, jumlah pelanggan 3G Jepang, yang per Juni 2005 telah mencapai lebih dari 31 juta (NTT DoCoMo 12,88 juta, KDDI 18,49 juta), jauh meninggalkan kawasan Eropa yang masih sekitar 6,3 juta.

Di Korea, layanan 3G juga terbilang sangat sukses. Korea Selatan, yang dianggap sebagai negara pertama menerapkan jaringan 3G yang disebut cdma2000 1xRTT (SK Telecom, KT Freetel dan LG Telecom), kini sekitar 30 juta pelanggannya telah menggunakan layanan 3G (termasuk pelanggan 1xRTT). Pertengahan 2002, kecepatan transmisi datanya telah meningkat mencapai rata-rata 500-600 Kbps, utamanya setelah operator menerapkan 1xEV.

Semua keunggulan teknologi, yang terwujud dalam jaringan yang luas dan kualitas layanan, yang dikemas dalam layanan 3G ini masih menyisakan langkah berat para operator untuk menggapai pelanggan. Meski GPRS yang ada saat ini tak bisa dikatakan sama sekali gagal, namun kalau dilihat dari jumlah penggunanya masih relatif sangat sedikit. Sementara EDGE tampaknya masih malu-malu kemunculannya.

Persoalannya, bukan saja harga layanan yang bagi kebanyakan pengguna dinilai cukup mahal, melainkan dukungan konten yang minim mungkin merupakan salah satu faktor kritikal. Bayangkan, ketersediaan akses berkapasitas besar dan ada di mana-mana, namun tanpa konten yang menarik, hal itu tak akan mendorong banyak orang untuk menggunakannya. Jika begitu, layanan 3G juga akan mengalami nasib serupa – tidak sukses.

Ketersediaan konten saja, juga belum mampu menarik para pelanggan, ketika layanannya sendiri tidak dianggap cukup mudah digunakan (user friendly). Kegagalan WAP beberapa tahun yang lalu merupakan bukti bahwa kemudahan akses dan menggunakannya merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan pengguna.

Selain itu, biaya yang harus dikeluarkan pengguna juga tetap menjadi pertimbangan, meski sebagian pengguna mungkin tak memusingkan soal berapa besar biaya yang harus dikeluarkan. Tetapi, layanan 3G bukan layanan yang bersifat eksklusif untuk mereka yang berpenghasilan tinggi, melainkan juga akan menjangkau pengguna yang lebih luas, termasuk kalangan anak-anak muda. Masalahnya, sesuaikah nilai yang akan mereka terima dengan nilai pengeluaran mereka menggunakan 3G. Bagaimana kalangan operator mampu meyakinkan mereka, sehingga kemudian mereka akan tertarik menjadi pelanggan 3G.

Mungkin tak ada salahnya kalangan operator 3G nasional juga mau belajar dari keberhasilan NTT DoCoMo dan KDDI dalam membangun layanan 3G mereka, dan juga bagaimana i-mode dari DoCoMo menjadi sangat popular – itu lebih karena kekayaan konten (aplikasi) dan harga yang kompetitif. Bahkan, i-mode diperkirakan tak hanya berhasil di Jepang, tapi akan merambah banyak pengguna di seluruh dunia.

Paradoks

  • Posted: Saturday, November 19, 2005
  • |
  • Author: pradhana

Ketika membaca harian Business Times di Kuala Lumpur beberapa waktu lalu, saya sempat tercenung sejenak. Di harian berbahasa Inggris itu dimuat berita bahwa pemerintah Malaysia mulai merealisasikan kerja sama dengan Rusia dalam menyiapkan kemampuan industri pesawat terbangnya dalam 10 tahun ke depan. Visinya jelas, bahwa Malaysia memiliki banyak pulau-pulau yang potensial dihubungkan satu sama lain dengan pesawat terbang. Karenanya, industri pesawat terbang menjadi kebutuhan di masa datang.

Sementara di dalam negeri, PT Dirgantara Indonesia (PTDI), industri pesawat terbang nasional dengan puluhan ribu karyawan, kini tengah terpuruk dan menghadapi degradasi besar-besaran. Banyak tenaga ahlinya, yang sebelumnya disekolahkan di luar negeri dengan biaya yang tidak sedikit, tak lagi bekerja di sana. Perampingan organisasi pun tengah dilakukan. Itupun masih ditambah berita bahwa PTDI kini tengah ditawarkan untuk dijual ke pihak asing.

Sementara Malaysia dengan jumlah penduduk sekitar 22 juta saja berpikir untuk mengembangkan industri berteknologi tinggi itu, sebaliknya Indonesia justru terus mengumandangkan “kontroversi” bahwa yang dibutuhkan bukan pesawat, tetapi produk-produk pertanian. Sehingga keberadaan PTDI mengalami “pengecilan arti” dari esensi yang sesungguhnya. Tak sedikit pun kita menempatkannya secara lebih proporsional dan melihat potensinya di masa depan.

Kalau seorang Habibie, yang memang sejak awal membangun keahliannya dalam bidang konstruksi pesawat terbang, mampu membuktikan berhasil membuat pesawat terbang, mestinya yang muncul bukan kontroversi. Sebaliknya, hal itu justru menjadi tantangan bagi ribuan ahli bidang-bidang lainnya untuk juga membuktikan kemampuannya.

Di sisi lain, ketika Malaysia menyatakan diri siap membangun apa yang dikenal sebagai Multimedia Super Corridor (MSC), yang merupakan tiruan Silicon Valley-nya Amerika, Indonesia pun tak mau kalah dengan mengungkapkan konsep Nusantara 21, yang akan mencakup kawasan seluruh Indonesia. Berbagai tim kemudian dibentuk.

Namun, ketika proyek MSC kini benar-benar terwujud dan mulai membentuk diri sebagaimana yang diinginkan, konsep Nusantara 21 sepertinya sudah dilupakan. Kalau pun masih diakui eksistensinya lebih karena hal itulah yang ditangani Telkom, khususnya dalam pembangunan infrastruktur. Tetapi, sebagai konsep nasional yang menjadi katalisator dalam merealisasikan strategi negara-bangsa, Nusantara 21 telah gagal.

Sementara itu, MSC kini tengah dimekarkan agar mampu memberi dampak yang lebih luas, baik bagi industri maupun daya saing Malaysia, yang memang berambisi menjadi hub ICT (information and communication technology) regional.

Disadari atau tidak, sesungguhnya kita tengah berhadapan dengan pola-pola yang bersifat paradoks, inkonsisten. Inkonsistensi kini terjadi lebih meluas. Kita lebih tertarik untuk menegasikan sesuatu yang lama demi reformasi tanpa kecermatan untuk memilah, memilih dan kemudian meningkatkannya. Seolah-olah kita tak lagi memiliki gambaran dan rute masa depan yang jelas, yang secara konsisten kita bangun untuk selanjutnya menjadi fondasi peningkatan ke sesuatu yang lebih tinggi, setahap demi setahap.

Dalam lingkungan yang bersifat paradoks semacam itu, pandangan dan visi kita secara nasional mengenai ICT pun hampir-hampir tak terdalami dengan baik. Ibarat dalam suatu perusahaan yang menempatkan TI hanya sebatas salah satu bidang, begitu juga dalam konteks nasional. ICT masih belum dilihat dalam keseluruhan yang mendukung formulasi dan strategi nasional sebagai negara-bangsa dalam konteks peningkatan daya saing nasional melalui prioritas bidang-bidang tertentu yang dipilih.

Pengembangan ICT masih lebih dilihat sebagai salah satu industri, belum sebagai enabler pencapaian masing-masing bidang, yang tentunya telah memiliki visi dan strategi yang jelas. ICT bukan segala-galanya. Tanpa visi dan strategi yang jelas, ia tak mampu berperan.

Karenanya, menjelaskan “apa” yang akan kita capai ke depan bukan saja penting, tapi sangat strategis. Kemudian, meletakkan “dimana” ICT bisa berperan menjadi sama pentingnya. Dengan begitu, pernyataan “where ICT can help” tak sekaligus menempatkan “jika menggunakan ICT semuanya akan beres”. Melainkan, bagaimana kita “menempatkan” ICT dan “dimana ia bisa membantu” menjadi sangat penting untuk dicermati.

Perlu Lebih Bijak

  • Posted: Friday, November 18, 2005
  • |
  • Author: pradhana

Selama ini, kita tahu, bahwa antara Telkom – penyedia komunikasi tetap (pontap) - dan operator penyedia komunikasi selular (ponsel) GSM (global system for mobile communications) tidak bersaing secara langsung, karena jasa yang dipasarkan berbeda. Tetapi, kalau pengguna ponsel meningkat sangat cepat, itu pun tidak serta merta mengurangi secara drastis pontap yang dikelola Telkom. Karena, sebagian besar pengguna ponsel juga masih menggunakan pontap, baik di rumah, di kantor atau di tempat-tempat tertentu lainnya.

Kita melihat bahwa kehadiran ponsel lebih memberikan alternatif dan juga ekstensi pasar, dan bukan sebaliknya mengancam keberadaan pontap. Telkom sendiri pun terbukti menjadi salah satu operator selular melalui pembangunan anak perusahaan yang mengelola layanan itu, yakni Telkomsel.

Saat ini, diperkirakan pengguna ponsel telah mencapai lebih dari 10 juta pengguna, yang memang jauh melebihi pengguna pontap yang sekitar 7 jutaan pengguna. Tetapi, pada saat yang sama, masih banyak anggota masyarakat yang membutuhkan, yang belum kebagian layanan pontap ini. Masalahnya, apakah kapasitas terpasang Telkom telah habis, kita pun tidak tahu. Faktanya, hingga hari ini, pengguna ponsel meningkat lebih cepat dibandingkan pontap. Selain kemudahan memperolehnya, ponsel sangat menarik bagi pengguna, terutama karena mobilitasnya, yang tidak dimiliki pontap.

Dengan mobilitas ini, pengguna dapat menggunakannya dari mana saja ia berada, tanpa tergantung harus di rumah atau dikantor. Bahkan sedang berjalan pun ia dapat dengan mudah menggunakan ponselnya. Selain itu, berbagai fitur juga menarik para pengguna, sehingga untuk itu ia bersedia membayar lebih mahal. Banyak hal yang tidak dapat dilakukan pontap, justru dapat dilakukan ponsel.

Namun, belakangan ini siapa sangka bahwa ponsel, terutama GSM berhadapan dengan suatu kenyataan yang membuatnya langsung harus berkompetisi secara ketat. Hal ini diinisiasi dengan munculnya layanan komunikasi nirkabel dengan fitur bergerak secara terbatas (limited mobility) yang diluncurkan oleh Telkom dengan nama TelkomFlexi.

TelkomFlexi merupakan layanan telepon tetap nirkabel (fixed wireless), baik untuk suara maupun data, yang memungkinkan pelanggan melakukan panggilan dan dipanggil pada posisi di mana pun selama berada di area flexi. Penggunanya akan dikenai tarif sama dengan tarif telepon tetap, tanpa biaya airtime sebagaimana pada ponsel. Dengan layanan ini pelanggan bisa melakukan komunikasi bergerak sepanjang berada di area flexi-nya.
Namun, secara teknologi, dengan menggunakan fitur automutasi, layanan ini dapat juga digunakan keluar area flexi sepanjang masih dalam cakupan satu kode area tertentu , misalnya Jakarta dengan kode area 021.

Kemampuan inilah yang kini tampaknya tengah mengancam keberadaan operator GSM dalam mengembangkan pelanggannya di masa datang. Betapa tidak, karena sepanjang masih di suatu area, seorang pengguna masih akan dapat berkomunikasi dengan tingkat mobilitas tinggi, namun dengan biaya yang lebih murah atau sama dengan penggunaan pontap. Hal ini akan sangat menarik, karena selain dapat meningkatkan lama pembicaraan, tetapi dengan biaya yang relatif lebih murah, gaya penggunaan ponsel masih tetap dapat diadaptasi di TelkomFlexi ini.

Selain itu, dari para pengguna ponsel yang sekarang ini ada, hanya 20 persennya saja yang selalu melakukan perjalanan ke luar kota, yang berarti berpindah ke kode area lain. Sementara 80 persen lainnya masih lebih banyak berada di satu kode area tertentu.

Tantangan ini terutama akan lebih memicu mereka-mereka yang banyak melakukan komunikasi di satu area karena adanya alternatif yang relatif sama namun dengan biaya yang lebih rendah. Meskipun ponsel memiliki kekayaan fitur, tetapi diperkirakan fitur-fitur itu bukan merupakan sesuatu yang utama dalam banyak kesempatan berkomunikasi. Sementara, layanan baru ini juga dapat digunakan untuk komunikasi data sebagaimana pada ponsel. Artinya, yang 80 persen ini yang diperkirakan akan menjadi sasaran layanan baru tersebut.

Layanan baru berbasis teknologi CDMA 2000-1X ini juga memungkinkan munculnya fitur-fitur yang lebih variatif melalui penciptaan value creation, yang akan berpihak kepada pengguna sepanjang tingkat affordability mereka benar-benar dipertimbangkan.

Hanya saja situasi ini akan memberikan inisiasi yang bukan saja kompetitif di antara para operator, tetapi juga memungkinkan penciptaan layanan-layanan baru yang semakin meningkat, yang diharapkan akan semakin menguntungkan posisi pelanggan.

Namun, perbincangan belakangan ini tampaknya lebih mengarah agar jangan terjadi lahan pertempuran (battleground) yang sama di antara keduanya, tetapi justru saling komplementer. Tetapi, kita harus sadar, bahwa perkembangan pesat teknologi sekarang ini harus menjadi pertimbangan penting untuk juga diikuti dengan kekuatan aturan (regulation power) yang memberikan kesempatan tumbuh yang relatif sama.

Karena hanya mengacu saja dengan teknologi, tanpa juga mempertimbangkan “ruang” bisnis yang cukup untuk perkembangannya, justru bukan tidak mungkin hanya akan mendorong “dominasi” yang sengaja atau tidak, semakin menyempitkan perkembangan bisnis di dalam negeri. Meski, saya setuju kepentingan pelanggan juga sangat perlu diperhatikan.

Efisiensi dan efektifitas dalam menjalankan bisnis itu sangat penting, pilihan dan layanan yang berbasis teknologi yang beragam juga sama pentingnya. Pemenuhan kebutuhan pengguna dengan “biaya” yang reasonable juga sangat penting dipertimbangkan. Namun, hidupnya bisnis di bidang tersebut juga sesuatu yang juga sangat penting. Karenanya, bijaklah menangani hal ini. Jika tidak, yang muncul adalah dominasi, yang juga sama-sama tidak kita kehendaki, karena hal itu akan merugikan banyak pihak.