ICT and Internet Business is an Independent Blog Focusing on ICT and Internet Business, eBusiness, Digital Media, Online Advertising, Internet Marketing, Mobile and Wireless, etc.

Belajar Dari AFI

  • Posted: Sunday, December 04, 2005
  • |
  • Author: pradhana

Tampilnya Veri Affandi, pemuda sederhana kelahiran Pangkalan Brandan, 7 Januari 1983, sebagai pemenang pertama kompetisi ”Menuju Bintang” AFI (Akademi Fantasi Indosiar), awal Maret lalu, masih menyisakan demam AFI hingga saat ini. Sambutan luar biasa masyarakat, terutama kalangan muda, di desa maupun di kota, sepertinya telah menciptakan ikon baru.

Veri, yang dalam bilangan bulan sebelumnya hanya seorang pemuda sederhana yang tak banyak dikenal, tiba-tiba tampil menjadi sosok yang dielu-elukan banyak orang. Pengakuan yang jujur Veri mengenai kehidupan keluarganya yang sangat bersahaja, terbukti telah memunculkan simpati yang luar biasa. Berbekal kemampuan menyanyinya, penampilan yang sederhana dan sikap santunnya, melalui jutaan SMS dan telepon bebas pulsa, akhirnya Veri didaulat sebagai pemenang pertama kompetisi AFI.

Terlepas dari siapa Veri, apakah kemampuannya setara dengan penghargaan yang diterimanya, namun Indosiar telah membuktikan bahwa program reality show yang melibatkan partisipasi masyarakat luas, menjadi suatu “kekuatan” tersediri yang luar biasa. Animo dan antusias masyarakat terbukti telah memunculkan demam AFI yang berkepanjangan. Ketika AFI 2 dimulai, demam AFI 1 pun masih belum surut.

Penggelaran konser bintang-bintang AFI di beberapa kota besar, sebagai langkah awal debut mereka, yang sudah dimulai akhir Maret lalu di Bandung, masih menunjukkan antusiasme itu. Padahal, selentingan kabar menyatakan bahwa program AFI, yang mendapat rating tertinggi dibandingkan acar-acara lainnya di semua stasiun televisi itu, awalnya memang tak dijagokan sebagai program unggulan. Namun, faktanya sangat berbeda.

Satu hal yang menarik, melalui AFI, Indosiar berhasil membangun optimisme masyarakat, khususnya para pemuda. Kemiskinan keluarga Veri, pada saat yang sama, sepertinya tak dapat dijadikan alasan untuk tidak meraih prestasi, meski diakui selain banyak yang optimis, tak kurang banyaknya yang pesimis. Namun, apapun alasannya, Veri telah menjadi bukti. Tantangan ke depan, jelas akan banyak berada di pundak Veri, apakah ia mampu membangun prestasi di dunia panggung yang nyata.

Di sisi lain, masyarakat seperti dibukakan pintu optimisme lebar-lebar untuk meraih prestasi, khususnya dalam dunia tarik suara dan entertainment. Sesuatu yang semakin sulit difahami masyarakat belakang ini. Di antara begitu banyak peluang, namun selalu memunculkan “persaingan yang tak sehat”, antara lain melalui permainan uang.

Uang seolah-olah telah menjadi “penentu” dan “pengambil keputusan” bagi banyak orang untuk meraih peluang. Sebaliknya, kemampuan seperti telah terpinggirkan. Asa orang-orang miskin yang memiliki kemampuan dan ketrampilan, hampir-hampir tak mampu ditampilkan lagi, karena terbentur uang (dan koneksi). Keberhasilan Veri, yang melambungkan popularitas yang luas dalam bilangan bulan, menyisakan harapan yang luar biasa.

Indosiar, memalui AFI, tak dapat disangkal telah mempertontonkan ”ada”-nya peluang, yang mestinya bisa juga menularkannya ke bidang-bidang lainnya.

Di dunia TI misalnya. Saya percaya masih banyak pemuda-pemuda kita yang sesungguhnya secara kemampuan dan ketrampilan dapat di”angkat” dan di”bangun” menuju sukses, sebagaimana AFI membangun Veri dan kawan-kawannya. Sayangnya, kebersamaan kita dengan visi untuk membangun anak-anak bangsa ini, masih lebih nyaring diteriak-teriakkan ketika kampanye Pemilu, namun sulit dicari pijakannya di dunia nyata.

“Membangun” dalam “orasi” Pemilu dan juga kebijakan pengelolaan negara hampir tak punya korelasi dengan ”membangun” yang sesungguhnya. Berbagai unsur, lembaga, institusi atau kelompok masyarakat, apakah pendidikan, dunia usaha, maupun masyarakat lainnya, sepertinya tak punya lagi “kebersamaan”, “saling tolong-menolong”, atau kata kerennya kolaborasi menuju keberhasilan bersama.

Bangsa ini, hampir tak lagi menyisakan ruang dan peluang yang fair, katakanlah seperti AFI, yang memungkinkan semua orang, baik kaya maupun miskin dapat meraih sukses berdasarkan kemampuan yang dimilikinya. Saat ini, “lahan” itu sepertinya sangat-sangat sedikit, dan AFI mungkin hanya sebuah noktah kecil. Tapi, itupun terbukti mampu melahirkan optimisme yang luar biasa. Bagaimana pula kalau ”lahan” itu tersedia lebih luas?

0 people have left comments

Commentors on this Post-