ICT and Internet Business is an Independent Blog Focusing on ICT and Internet Business, eBusiness, Digital Media, Online Advertising, Internet Marketing, Mobile and Wireless, etc.

Paradoks

  • Posted: Saturday, November 19, 2005
  • |
  • Author: pradhana

Ketika membaca harian Business Times di Kuala Lumpur beberapa waktu lalu, saya sempat tercenung sejenak. Di harian berbahasa Inggris itu dimuat berita bahwa pemerintah Malaysia mulai merealisasikan kerja sama dengan Rusia dalam menyiapkan kemampuan industri pesawat terbangnya dalam 10 tahun ke depan. Visinya jelas, bahwa Malaysia memiliki banyak pulau-pulau yang potensial dihubungkan satu sama lain dengan pesawat terbang. Karenanya, industri pesawat terbang menjadi kebutuhan di masa datang.

Sementara di dalam negeri, PT Dirgantara Indonesia (PTDI), industri pesawat terbang nasional dengan puluhan ribu karyawan, kini tengah terpuruk dan menghadapi degradasi besar-besaran. Banyak tenaga ahlinya, yang sebelumnya disekolahkan di luar negeri dengan biaya yang tidak sedikit, tak lagi bekerja di sana. Perampingan organisasi pun tengah dilakukan. Itupun masih ditambah berita bahwa PTDI kini tengah ditawarkan untuk dijual ke pihak asing.

Sementara Malaysia dengan jumlah penduduk sekitar 22 juta saja berpikir untuk mengembangkan industri berteknologi tinggi itu, sebaliknya Indonesia justru terus mengumandangkan “kontroversi” bahwa yang dibutuhkan bukan pesawat, tetapi produk-produk pertanian. Sehingga keberadaan PTDI mengalami “pengecilan arti” dari esensi yang sesungguhnya. Tak sedikit pun kita menempatkannya secara lebih proporsional dan melihat potensinya di masa depan.

Kalau seorang Habibie, yang memang sejak awal membangun keahliannya dalam bidang konstruksi pesawat terbang, mampu membuktikan berhasil membuat pesawat terbang, mestinya yang muncul bukan kontroversi. Sebaliknya, hal itu justru menjadi tantangan bagi ribuan ahli bidang-bidang lainnya untuk juga membuktikan kemampuannya.

Di sisi lain, ketika Malaysia menyatakan diri siap membangun apa yang dikenal sebagai Multimedia Super Corridor (MSC), yang merupakan tiruan Silicon Valley-nya Amerika, Indonesia pun tak mau kalah dengan mengungkapkan konsep Nusantara 21, yang akan mencakup kawasan seluruh Indonesia. Berbagai tim kemudian dibentuk.

Namun, ketika proyek MSC kini benar-benar terwujud dan mulai membentuk diri sebagaimana yang diinginkan, konsep Nusantara 21 sepertinya sudah dilupakan. Kalau pun masih diakui eksistensinya lebih karena hal itulah yang ditangani Telkom, khususnya dalam pembangunan infrastruktur. Tetapi, sebagai konsep nasional yang menjadi katalisator dalam merealisasikan strategi negara-bangsa, Nusantara 21 telah gagal.

Sementara itu, MSC kini tengah dimekarkan agar mampu memberi dampak yang lebih luas, baik bagi industri maupun daya saing Malaysia, yang memang berambisi menjadi hub ICT (information and communication technology) regional.

Disadari atau tidak, sesungguhnya kita tengah berhadapan dengan pola-pola yang bersifat paradoks, inkonsisten. Inkonsistensi kini terjadi lebih meluas. Kita lebih tertarik untuk menegasikan sesuatu yang lama demi reformasi tanpa kecermatan untuk memilah, memilih dan kemudian meningkatkannya. Seolah-olah kita tak lagi memiliki gambaran dan rute masa depan yang jelas, yang secara konsisten kita bangun untuk selanjutnya menjadi fondasi peningkatan ke sesuatu yang lebih tinggi, setahap demi setahap.

Dalam lingkungan yang bersifat paradoks semacam itu, pandangan dan visi kita secara nasional mengenai ICT pun hampir-hampir tak terdalami dengan baik. Ibarat dalam suatu perusahaan yang menempatkan TI hanya sebatas salah satu bidang, begitu juga dalam konteks nasional. ICT masih belum dilihat dalam keseluruhan yang mendukung formulasi dan strategi nasional sebagai negara-bangsa dalam konteks peningkatan daya saing nasional melalui prioritas bidang-bidang tertentu yang dipilih.

Pengembangan ICT masih lebih dilihat sebagai salah satu industri, belum sebagai enabler pencapaian masing-masing bidang, yang tentunya telah memiliki visi dan strategi yang jelas. ICT bukan segala-galanya. Tanpa visi dan strategi yang jelas, ia tak mampu berperan.

Karenanya, menjelaskan “apa” yang akan kita capai ke depan bukan saja penting, tapi sangat strategis. Kemudian, meletakkan “dimana” ICT bisa berperan menjadi sama pentingnya. Dengan begitu, pernyataan “where ICT can help” tak sekaligus menempatkan “jika menggunakan ICT semuanya akan beres”. Melainkan, bagaimana kita “menempatkan” ICT dan “dimana ia bisa membantu” menjadi sangat penting untuk dicermati.

0 people have left comments

Commentors on this Post-