ICT and Internet Business is an Independent Blog Focusing on ICT and Internet Business, eBusiness, Digital Media, Online Advertising, Internet Marketing, Mobile and Wireless, etc.

Revolusi vs. Copyrights

  • Posted: Tuesday, November 29, 2005
  • |
  • Author: pradhana

Seorang teman mampir ke kantor sambil menunjukkan “mainan” barunya, yang katanya memang lagi tren. Teman saya ini boleh dikata biangnya perangkat digital baru. Sebutan “gadget mania” mungkin cocok diberikan kepadanya. Pasalnya, dalam setahun ia bisa berkali-kali ganti ponsel, belum lagi PDA, MP3 player, Digital Camera, Digital Dictionary, Stick Memory, dan masih banyak lagi.

Tetapi, mengenai yang terbaru ini, ia sangat menyukainya. MP3 player iPod keluaran Apple yang dibawanya kentor saya itu, katanya mampu menyimpan 1.000 lagu berformat MP3. Kapasitas itu setara dengan storage 40 GB.

Bentuknya mungil (iPod mini, le 2,5” x ti 3,6” x tb 0,5”) dan desainnya sederhana tanpa tombol-tombol yang mencolok, sehingga mudah dimasukkan ke saku baju atau celana. Warnanya bervariasi, ada merah, hijau, krem dan lainnya. Selain tak disibukkan membawa kaset atau CD seperti sebelumnya, lagunya pun bisa diperoleh secara gratis dengan mendownload dari begitu banyak situs web. Kalau pun harus membeli, harganya berkisar USD 0,99 per lagu.

Di Indonesia, hal itu mungkin belum cukup nyata mempengaruhi industri musik. Selain karena pengguna Internet yang masih minim, perangkatnya pun ternyata tidak murah.

Yang menarik, saat ini, tengah terjadi “perang baratayuda” modern di lingkungan industri rekaman, khususnya di Amerika dan Eropa. Tetapi, jika hal ini dikaitkan dengan distribusinya ke seluruh dunia, tentu akan terkait baik langsung maupun tidak.

Munculnya format lagu dalam bentuk kompresi, seperti MP3, WMA dan juga format video yang lebih kecil kapasitasnya, sehingga dapat ditransmisikan melalui jaringan Internet ke seluruh dunia secara cepat. Bagi pengguna Internet, ini jelas peluang baru, begitu juga bagi para pebisnis baru.

Seperti juga tantangan yang dihadapi sebagian besar bisnis konvensional sekarang ini dengan kehadiran Internet, Industri rekaman (musik dan film/video khususnya) menghadapi situasi pepperangan yang dahsyat.

Era Internet telah melahirkan perusahaan-perusahaan skala besar yang sepenuhnya berbasis Internet, seperti Yahoo!, Google, Amazon, dan lainnya, dan pada saat yang sama juga telah memicu perusahaan-perusahaan brick & mortar untuk membangun jejaring mayanya. Sebut saja Barners & Noble (ada toko fisik dan ada toko maya), begitu juga Dell yang menjual komputernya melalui Internet, termasuk Cisco Systems yang menjual router dan perangkat jaringan lainnya, meskipun secara fisik mereka juga memiliki representasi perusahaan sebagaimana perusahaan lainnya. Ekstensi ke jaringan maya merupakan strategi menggunakan Internet dalam membangun keunggulan bisnis skala besar.

Namun, apa yang terjadi di industri rekaman ini, jika tidak diantisipasi secara lebih cermat, bukan tak mungkin perkembangan itu akan menghantam industri rekaman dengan seluruh kanal distribusi fisiknya yang telah ada selama ini. Mungkin saja orang akan berpendapat, bahwa hal itu belum signifikan, karena belum banyaknya pengguna Internet, khususnya kalau kita melihatnya di Indonesia, namun ke depan para penikmat musik dan film akan memiliki berbagai alternatif baru.

Untuk lagu, ada banyak situs web yang menyediakan download lagu-lagu dalam berbagai format melalui akses Internet. Ada juga Napster, yang menggunakan teknologi P2P (peer-to-peer), yang memungkinkan terjadinya file sharing dalam menikmati lagu. Dalam segmen film, juga ada video streaming dan video on demand, yang mengandalkan akses berkapasitas besar (broadband network).

Masalahnya, bukan semata-mata tersedianya teknologi baru yang memungkinkan semua itu, melainkan yang lebih krusial adalah bagaimana menjaga hak-hak para pihak yang terkait, seperti copyright penciptaan lagu dan film serta nilai komersialnya. Bukannya gratis sebagaimana yang terjadi saat ini. Meski, di antara para penikmat musik era baru ini, para penikmat yang berbasis kepemilikan (yang sah) pun masih cukup banyak. Hanya saja, jika hal ini menjadi sesuatu yang “tak tertahankan”, apakah industri rekaman (musik dan film) ini akan mampu bertahan? Atau lebih jauh, akankah industri rekaman akan punah?

0 people have left comments

Commentors on this Post-