3G: Sekedar "Nice to have?"
- Posted: Tuesday, March 07, 2006
- |
- Author: pradhana
Persoalan ketersediaan frekuensi 3G, yang sebelumnya ditempati oleh operator CDMA, kini setidaknya telah bersih dan siap digunakan oleh para operator 3G yang memenangkan tender beberapa waktu lalu. Namun, persoalan 3G ini tak berhenti hanya pada ketersediaan frekuensi dan adanya operator, serta ketersediaan perangkat berbasis 3G, terutama ponsel, melainkan masih banyak persoalan lain yang perlu mendapatkan perhatian.
Penerapan 3G ini, sebelumnya memang sempat memunculkan pro-kontra. Kalangan yang kontra menilai bahwa Indonesia belum saatnya menerapkan teknologi 3G ini. Alasannya, selain berbiaya mahal, mereka juga masih meragukan apakah penerapan 3G akan mampu memberi manfaat optimal bagi para penggunanya dan mampu mendulang rupiah bagi para operator penyedia layanan.
Hal lainnya, apakah 3G juga akan mendorong perkembangan industri ikutan lainnya, misalnya konten digital, yang diharapkan akan berdampak lebih positif ke depan. Di sisi lain, belum banyak negara di dunia yang berhasil menggunakan teknologi 3G ini sebagai sebuah model bisnis yang menjanjikan, apalagi menguntungkan. Ini persoalan mendasar dalam bisnis.
Lihat saja, saat ini, berbagai operator telekomunikasi dunia dengan penetrasi ponsel tertinggi masih terus membicarakannya secara serius dan mendalam apakah akan langsung menggunakan teknologi 3G sebagai koneksi bergerak (mobile access), atau lebih dahulu memperkuat penerapan GPRS (general packet radio services) atau UMTS (universal mobile telecommunication system) yang masuk dalam katagori 2,5G.
Belajar dari layanan GPRS dan MMS (multimedia message services), yang hingga kini masih belum menunjukkan tingkat penggunaan yang optimal. Selain harga layanannya dinilai cukup mahal, ponsel berkemampuan MMS pun dibanderol cukup tinggi. Pengguna juga belum memiliki “ketertarikan” yang kuat untuk menggunakan layanan tersebut, seperti ketertarikan mereka dengan SMS. Kontennya masih belum mendukung, baik dari variasi jenis maupun kemanfaatannya. Tentu, tidak semua konten harus terkait dengan hiburan, games atau sejenisnya.
Namun, para operator tampaknya sangat terpesona oleh keberhasilan DoCoMo di Jepang dengan 3G-nya, yang kini malah dilanjutkan dengan penelitian serius soal teknologi 4G. Begitu juga dengan operator-operator Korea yang secara konten dan jaringan memang sudah terfasilitasi koneksitas berpita-lebar alias broadband. Hanya saja, pada saat yang sama, apa yang sesungguhnya terjadi di dua negara itu kurang begitu diapresiasi, sehingga hal yang sama dapat dicarikan nilai ketertarikan penggunanya untuk menggunakan 3G sebagai layanan yang memberi nilai tambah optimal, meski untuk itu para pengguna akan dikenakan biaya yang lebih mahal dari yang sekarang.
Tetapi, apakah keberhasilan DoCoMo di Jepang dengan fasilitas akses informasi yang always-on itu dapat dijadikan sebagai acuan untuk menyelenggarakan layanan 3G di Indonesia? Karena, bagaimana pun keberhasilan suatu aplikasi teknologi tidak semata-mata ditentukan oleh teknologi, melainkan juga budaya dan kebiasaan masyarakatnya. Keberhasilan DoCoMo, tentu saja tak bisa dilepaskan dari minat dan kesukaan membaca yang tinggi masyarakat Jepang. Termasuk perkembangan yang mengagumkan dalam kreativitas komik yang luar biasa.
Selain itu, tingkat mobilitas masyarakat Jepang dinilai sangat tinggi, misalnya terlihat dari tingginya penggunaan berbagai moda transportasi umum, baik ketika pergi maupun pulang kerja. Kebiasaan itu, yang ditopang oleh kebiasaan membaca, jelas telah memunculkan kebiasaan untuk mengisi waktu luang mereka dalam perjalanan dengan membaca, misalnya koran, majalah, komik dan juga menggunakan ponsel. Hal itu semua, sepertinya sangat ternaungi oleh dukungan akses dan konten yang beragam, yang ketika nilai ekonomis layanannya tercapai, otomatis biayanya menjadi lebih reasonable dibandingkan manfaat optimal yang diperoleh para penggunanya, baik itu terkait dengan hiburan, permainan maupun aplikasi lainnya yang dibutuhkan.
Nah, apakah hal yang sama atau relatif sama ada di masyarakat Indonesia? Kalau pun 3G akan segera diterapkan, tantangannya jelas tidak kecil, mengingat masalah utamanya tidak hanya terkait dengan ketersediaan jaringan dan layanan 3G, melainkan juga ketersediaan perangkat ponsel 3G-nya sendiri dan konten-konten yang menarik. Karena tersedianya layanan 3G, tidak pada saat yang sama, akan memastikan bahwa layanan tersebut akan diminati dan langsung menarik untuk digunakan oleh para pengguna ponsel 3G.
Jangan-jangan, jika tidak disadari dan dilakukan upaya-upaya yang dapat mendorong hal itu, layanan 3G hanya akan menjadi pajangan yang bersifat “nice to have”, bukan “nice to use” yang mampu memberikan manfaat optimal. Hingga saat ini, pelanggan 3G/WCDMA dunia diperkirakan mencapai 50 juta (akhir Januari 2006). Sementara teknologi 3G/UMTS dinilai sebagai teknologi yang paling populer dalam teknologi nirkabel 3G. Secara global, pelanggan UMTS/WCDMA plus CDMA2000 1x EV-DO lebih dari 72 juta.
Eropa sendiri, yang telah menerapkan jaringan 3G secara luas, diperkirakan memiliki sekitar 25 juta pelanggan 3G/UMTS atau 51% pelanggan WCDMA global. Sedang jaringan WCDMA yang sudah diterapkan lebih dari 100 di 42 negara di dunia, didukung dengan pilihan lebih dari 250 jenis perangkat, dari Asia, Eropa dan Amerika Utara.
China, sebagai negara dengan penduduk di atas 1,3 miliar, tampaknya mengambil jalan sendiri dengan menerapkan teknologi 3G versi TD-SCDMA (yang merupakan salah satu dari standar 3G dunia, selain UMTS/W-CDMA, CDMA2000, dan UMTS-TDD, serta FOMA yang diterapkan oleh DoCoMo di Jepang). Dengan jalan itu, China ingin membangun sendiri spesifikasi untuk pasar besar yang dimilikinya, dimana pengembangannya memang lebih banyak dilakukan di China melalui kolaborasi para pakar dan ahli teknologi mancangera dan China.
Sementara bagi para pendukung 3G, mereka menilai memang sudah selayaknya teknologi itu diterapkan oleh kalangan opeartor Indonesia, baik itu yang baru maupun yang lama, yang telah memiliki jutaan pelanggan. Selain karena perkembangan ke depan akan mengarah ke teknologi tersebut, maka jika tidak dilakukan persiapan yang serius sejak sekarang ini, nantinya malah akan kedodoran ketika persaingan benar-benar terjadi di layanan 3G ini.
Sebenarnya, baik yang pro maupun yang kontra, tidak melihat bahwa 3G bukan sesuatu yang tidak layak diterapkan bagi Indonesia, melainkan apakah tepat saatnya sekarang ini. Persoalan lainnya adalah apakah penerapan 3G semata-mata hanya sekedar mengharapkan nantinya para pelanggan akan tertarik, sementara ketersediaan itu juga, disadari atau tidak, terkait dengan berbagai aspek lainnya.
Yang selalu terjadi adalah, pandangan bahwa dimensi teknologi merupakan suatu kekuatan yang bisa berjalan sendiri, sementara dimensi lainnya, terutama komersial dan aspek-aspek mendasar lainnya yang semestinya ada, kurang mendapatkan perhatian yang baik. Banyak pihak menilai sesuatu sebagai yang sudah ada atau given, sehingga tidak lagi diperlukan upaya-upaya yang mendukung ke arah itu.
Umumnya para penyedia layanan selalu melihat para pengguna atau pelanggan layanan sebagai sesuatu yang berjarak, yang tidak perlu disentuh, nanti ketika layanannya tersedia, toh mereka akan menggunakannya juga. Padahal, banyak penerapan suatu layanan ternyata gagal, karena memang tidak mendapatkan dukungan penggunaan oleh pelanggan. Mengapa? Karena, ketika ingin menjual suatu layanan, ternyata banyak aspek yang belum dibangun dan belum dilakukannya edukasi yang baik terhadap pelanggan atau calon pelanggan. Dan, yang pasti layanan baru itu harus juga dilihat dari nilai manfaat dan berapa besar biayanya atas manfaat itu.
Di sisi lain, seperti yang terkait dengan keberhasilan DoCoMo di Jepang, ada dukungan budaya dengan kreativitas yang berkembang, khususnya konten, dan ketersediaan akses yang terjangkau karena daya beli yang memungkinkan keterjangkauannya. Nah, dengan begitu, apakah Indonesia sudah memiliki karakteristik pengguna yang mendukung kemungkinan tersebut? Lantas, kreativitas macam apa yang akan mendukung perkembangannya? Bagaimana dengan regulasinya, serta aspek dukungan lingkungan lainnya?
Kalau perhitungannya hanya ditujukan pada orang-orang lapisan tertentu, yang dianggap memiliki kemampuan untuk membeli layanan 3G itu, apakah jumlahnya cukup besar, sehingga memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Pertanyaan lainnya, apakah dengan, katakanlah hingga saat ini ada lima operator yang memegang lisensi 3G, benar layanan tersebut akan memberikan nilai ekonomis kepada para operator, seandainya benar bahwa layanan 3G lebih ditujukan pada lapisan pengguna tertentu yang lebih mampu?
Mungkin, pertimbangan lainnya, sasarannya tak hanya para pengguna personal, melainkan lebih pada pengguna korporat yang membutuhkan komunikasi data kecepatan tinggi dan kapasitas besar, namun bersifat mobile. Padahal, ke depannya akan muncul WiMAX (Worldwide Interoperability for Microwave Access) yang meskipun sejak awal memang dirancang untuk menyediakan layanan komunikasi data nirkabel kapasitas besar (wireless broadband), namun karena keterjangkauannya cukup luas per satu titik, maka para analis justru memperkirakan kehadiran WiMAX akan mengubah peta industri telekomunikasi dunia.
Bayangkan saja, dengan kemampuan WiMAX, yang satu channel saja bisa membawa kapasitas data hingga 80 Mbps, maka kalau ada enam channel berarti sudah bisa membawa 6 x 80 Mbps atau 460 Mbps. Sedang rentang keterjangkauannya hingga sekitar 30 mil (50 km) dan bekerja pada frekuensi 2.4, 3.5 dan 5.8GHz. Sementara, 3G hanya mampu membawa 2-4 Mbps. Dilihat dari fungsi telekomunikasinya, sama saja antara 3G dengan GSM, sedang WiMAX tampaknya bisa menggantikan 3G, meski dinilai tidak berbasis teknologi bergerak. Namun, dalam cakupan radius layanan yang cukup luas, mobilitas bukan lagi hambatan bagi keterjangkauan layanan.
Namun, sisi lainnya, mungkin saja para operator lebih memilih untuk memiliki “gengsi” karena telah mampu menyediakan layanan 3G, meski nilai ekonomisnya belum memadai. Atau, karena takut ketinggalan gerbong dengan tren 3G dunia, meski pun mungkin saatnya belum tepat? Atau, kalangan operator punya perhitungan yang berbeda, karena mereka yang memiliki pelanggan, dan yang lebih tahu apa yang dibutuhkan para pelanggan mereka?
Dan, bisa juga karena memang inilah peta jalan yang harus mereka jalani ke depan, utamanya dalam meningkatkan revenue dan ketersediaan layanan yang lebih bervariasi, berkualitas, nyaman dan menyenangkan. Itu pula sebabnya mereka mau membayar mahal, hingga ratusan miliar, hanya untuk mendapatkan alokasi frekuensi yang mereka butuhkan untuk 3G. Bagaimana hasilnya? Mari kita lihat sama-sama!
Related articles:
3G in China Update
China’s 3G License Scenarios: Market Shake-Up on the Horizon
Mobile TV ready to take off in China
Search-
Google Reader-
Blogging For Business-
Internet Business-
Recommended Links-
E-Commerce Optimization-
FastPitch, NiceOffers-
Sponsor Ad-
Blog Feeds-
You Are The Visitor No:-
Categories-
- 3G dan 4G (23)
- 3G Femtocell (8)
- Ad Spending (53)
- Ad Trends (6)
- Advertising (58)
- Advertising Metrics (3)
- Apple (28)
- Assets Management (2)
- Biometric Passport (1)
- BlackBerry (11)
- Blogging (9)
- Bluetooth (8)
- Brand and Branding (8)
- Broadband (45)
- Business Analysis (100)
- China (20)
- China Mobile (1)
- Commercial Telematics (1)
- Consumer Spending (1)
- Content Business (3)
- Cybercriminal (1)
- Data Security (2)
- Digital Content (106)
- Digital Home (2)
- e-Commerce (25)
- Enterprise 2.0 (1)
- Facebook (13)
- Friendster (1)
- Gadget (11)
- Global Ads Alliance (3)
- Going Green (1)
- Google (39)
- Google Ad Planner (2)
- Google Adwords (1)
- Google Android (10)
- Google Chrome (3)
- GPS (1)
- Handsets (13)
- Home Theater (1)
- HSDPA (2)
- HTC (2)
- Huawei (1)
- In-Game Ads. (1)
- India (10)
- Instant Messaging (3)
- Internet (26)
- Internet Advertising (139)
- Internet Explorer (1)
- Internet Users (30)
- iPad (1)
- iPhone (28)
- iPhone 3G (1)
- iPhone Advertising (5)
- iPod (5)
- IPTV (18)
- IT Business (3)
- IT Security (2)
- iTunes (4)
- Linux (5)
- Market Survey (306)
- Marketing (42)
- Media Market (7)
- Merger-Acquisition (29)
- Microsoft (21)
- Miscellaneous (76)
- Mobile Ads Revenue (10)
- Mobile Advertisers (2)
- Mobile Advertising (94)
- Mobile Applications (3)
- Mobile Broadband (4)
- Mobile Browser (1)
- Mobile Browsing (1)
- Mobile Business (7)
- Mobile Consumers (2)
- Mobile Content (90)
- Mobile Data (3)
- Mobile Data Revenue (2)
- Mobile Digital Media (5)
- Mobile Entertainment (1)
- Mobile Gaming (5)
- Mobile Market (20)
- Mobile Marketing (3)
- Mobile Messaging (1)
- Mobile Payments (2)
- Mobile Services (119)
- Mobile Shopping (1)
- Mobile Social Network (23)
- Mobile Technologies (1)
- Mobile TV (28)
- Mobile Video (14)
- Mobile Video Ads (2)
- Mobile Video Market (11)
- Mobile Widgets (5)
- Mobile-PRIZM (1)
- Motorola (10)
- MySpace (28)
- Netbook (1)
- New Format (2)
- New Trends (1)
- Nokia (28)
- Online Advertising (95)
- Online Banking (1)
- Online Business (8)
- Online buyers (1)
- Online Gaming (9)
- Online Services (176)
- Online Shopping (4)
- Online Spending (4)
- Online Travel (1)
- Online TV (3)
- Online Video (23)
- Online Video Ads. (16)
- Opera (3)
- PayPal (2)
- Phishing (2)
- PNDs (4)
- Podcasting (8)
- Premier Ultimate (1)
- Qualcomm (4)
- RFID (4)
- Samsung (2)
- Skymarket (1)
- Smartphone (12)
- SMS-based Advertising (1)
- Social Media (3)
- Social Network (39)
- Social Network Marketing (2)
- Sony Ericsson (5)
- Target and Segmentation (2)
- Texting (3)
- Ultra Wideband (5)
- User-Generated Content (2)
- Verizon Wireless (2)
- Video Game (1)
- Video on Demand (5)
- Video Surveillance (2)
- VoIP (15)
- Web 2.0 (9)
- Web Marketing (1)
- White Space (19)
- Wi-Fi (16)
- WiMAX (11)
- Windows Mobile (3)
- Wireless Market (7)
- Wireless Services (45)
- Yahoo (31)
- You Tube (24)
Blog Archive-
Lemon Twist Blogger Template is an extremely beautiful blogger template created by JackBook.Com based on Lemon Twist Wordpress themes by farfromfearless.com. Thanks to Chris Murphy and Jacky Supit for this great template.
- Copyright © 2008-2011 ICT & Internet Business. All Rights Reserved. Powered by Blogger
- Back To Top
- Log in
- Blogger
- Home
Recent Comments-